Jika cinta tidak bisa dirasakan maka cinta tidak akan bisa di dapatkan, karena cinta ada untuk dirasakan....
Syafa
Setelah berbicara dengan mas Hilman, Lily tidak tampak saat makan malam dan juga tidak keluar dari kamar. Apakah aku khawatir, Jelas jawabnya ya. Aku tidak bisa berpikir jernih saat Lily tidak juga keluar kamar, karena bagaimanapun juga semua ini terjadi karena hadirnya aku di rumah ini.
Aku masuk kedalam kamar dan menemukan mas Hilman yang tengah duduk diatas tempat tidur bersandar di kepala tempat tidur, aku tahu sesungguhnya dia juga dibuat pusing oleh keadaan rumah yang dua hari ini terasa panas. Aku duduk di samping mas Hilman,
"Mas, aku harap kamu tidak bersikap kasar pada Lily lagi. Itu bisa membuat dia menjadi anak yang suka melawan nantinya," Ujarku.
"Aku tidak tahu harus berlaku seperti apa lagi." Kulihat kepasrahan kini terlihat jelas di wajah tegasnya.
"Kita hanya bisa menunggu mas, sampai Lily benar-benar siap menerima aku," Balasku.
Aku menatap mas Hilman yang kini jelas beradu pandang dengan mataku, kedua jemari kokohnya tiba-tiba saja telah berada di pingganhku. Sesungguhnya kegugupan kini menyarangku, rasanya jantungku seperti lari marathon seketika. Aku tahu cepat atau lambat kami memang butuh penyatuan diri, dan sebagai istrinya yang sah yang dia pinta dari keluargaku. Aku tidak bisa menolak keinginan suamiku.
Ya suami, kini takdirku telah sepenuhnya bersama mas Hilman, bersamaan dengan rasa yang kini serasa menyiksa seluruh urat nadiku, rasa yang ditimbulkan oleh bibir merah mudanya yang mengecup dan menguasai diriku. Saat penyatuan itu terasa menyakitkan hanya satu lapas yang aku kumandangkan.
Bismillahirrahmanirrahim, Ya semoga kedepannya akan lebih baik.
**
Suara adzan berkumandang membuatku menggeliatkan seluruh tubuhku yang terasa ngilu di beberapa bagian tertentu. Kurasakan sebuah lengan kokoh yang dua malam ini menyinggapi pinggangku, ku buka perlahan mataku dan mendapati wajah tampan suamikulah yang terlihat damai dalam tidurnya. Seperti beban semalam menguap begitu saja. Senyum terukir diwajahku, betapa sempurnanya pria yang kini menjadi bagian hidupku. Ku ulurkan jemariku menyentuh wajah tampannya.
"Sudah bangun, kenapa tidak membangunkanku?" Sebuah suara membawaku kembali kedunia nyata, Membuatku menurunkan tanganku secepat kilat, namun di tahan oleh jemarinya.
"Kenapa?" simple namun membuat seluruh tubuhku terasa terbakar.
"Mas kita harus berbenah sudah waktunya subuh," Aku tahu bukan kata ini yang seharusnya keluar,
"Tentu nyonya Zain," Mas Hilman bangkit, dan aku berusaha ikut bangkit.
"Tapi apakah permaisuriku mampu untuk berdiri?" Aku menunduk merasakan wajahku yang merona.
"Aku bisa membantu dengan menggendongmu sayang," Aku mencubit lengannya, dia hanya terkekeh
"Aku bisa sendiri mas,"Ujarku sedikit sebal. Pagi-pagi begini sudah menggodaku.
"Serius tidak mau di gendong, hmm meskipun sudah lumayan berumur aku masih mampu loh buat gendong kamu," Seandainya dia bukan suamiku, aku akan melemparnya dengan bantal.
"Mas, jika kau tidak segera ke kamar mandi maka jangan salahkan aku dengan kita tidak bisa sholat subuh,"Ujarku menatap jam yang sudah hampir pukul 5 pagi.
"Baiklah, tapi," Aku menatapnya sebal.
"Aku akui kamu sexy dengan keadaan polos begitu, hahahaha" Suara tawanya menggelegar di dalam kamar mandi. Dia kah pria yang umurnya 34th, dia lebih pantas berumur sepantaran Ed kalau sikapnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Terakhir
SpiritualJika dulu aku berharap memiliki suami yang bisa membimbingku dan seorang yang sendiri akan datang melamarku, maka sekarang semuanya berbeda. Seorang pria yg masih gagah di umurnya yang mungkin telah berkisar 34th datang dan memintaku menjadi istri...