Cinta

591 42 2
                                    

Hilman

Tidak pernah aku membayangkan akan cinta Allah untukku, memberiku istri yang tidak lagi kuragukan cintanya padaku serta anak-anakku. Betapa aku bersyukur ya Allah atas nikmat yang selalu kau limpahkan untuk keluargaku, terimakasih untuk istri yang sholeha yang engkau karuniakan kepadaku.

Aku berjanji padamu untuk menjaga setiap nikmat yang engkau limpahkan, menjaga setiap raga yang engkau titipkan. Tuntun selalu jiwaku untuk terus mendekatkan diri ini padamu ya Rabbi.

"Mas kok melamun," Aku mengangkat wajahku. Ku temukan istriku tengah menatapku dengan penuh tanya.

"Hanya sedang mensyukuri setiap yang aku dapatkan. Termasuk istri sholeha sepertimu," Ujarku mengambil jemarinya dan mengecupnya.

"Mas, jangan terlalu memujiku. Kau tahu aku bisa terbang jika kau terus memujiku demikian, aku hanya berusaha untuk lebih layak bersamamu." Balasnya. Aku yang merasa tidak layak untukmu, batinku.

"Kau tidak hanya layak untukku. Tetapi kau luar biasa, bahkan aku yang jauh dari kata layak untukmu." Balasku menatap perutnya yang kini sudah memasuki usia 5bulan.

"Mas. Kita sudah sering membahas ini, kau sangat layak dan pantas menjadi Ayah untuk anak-anak kita. Bahkan dengan bangganya mereka selalu merapalkan kata itu untukmu, dan bagiku. Kau suami yang menakjubkan" Balasnya dengan senyuman manisnya.

"Apakah membuat perutmu menjadi besarpun termasuk dalam kata menakjubkan itu?" Aku duduk di sampingnya dan menghadapkan dirinya padaku.

"Mas," ujarnya dengan wajah yang sudah bersemu. Dia menenggelamkan wajahnya di dadaku, masih malu-malu seperti awal pernikahan kita dulu.

"Ayah, Bunda." Aku menatap Dony yang kini berlari kearah kami.

"Anaknya Bunda sudah pulang sekolah ya?" Tanya Syafa.

"Iya Bunda," balasnya lemas.

"Loh kok lemas begitu. Ada apa di sekolah?" Tanya istriku lagi.

"Sejak Bunda berhenti mengajar tidak ada lagi yang menarik di sekolah. Bahkan teman-teman selalu mengatakan jika Bunda tidak sayang Dony lagi," Ya aku memang sudah memberhentikan Syafa mengajar. Dan soal rasa sayang Syafa yang selalu di permasalahkan Dony ini bermula sejak Syafa hamil.

"Tidak ada yang berubah sayang. Kemarilah adik katanya rindu pada abang," Ujar istriku lembut. Jemarinya menggenggam jemari Dony dengan lembut.

"Bagi Bunda, Dony dan bang Ed juga kak Lily tetap sama. Bunda mencintai kalian, adik dalam perut Bundapun sama. Ini adiknya Dony tentu Bunda sama cintanya dengan kalian. Iyakan Yah?" Tanya istriku.

"Tentu, Ayah akan selalu milik kalian semua. Begitupun Bunda," Ujarku menempatkan Dony di pangkuanku.

"Tapi teman-teman Dony Yah" Rengeknya lagi.

"Teman-teman Dony hanya cemburu. Buktinya Ita teman sekelas Dony tidak punya adik. Dia hanya ingin seperti Dony memiliki kakak dan juga adik," Ujarku mengecup keningnya.

"Benarkah? Pantas saja dia selalu mengatakan Dony terlalu banyak saudara. Kalau begitu adik bayi harus segera lahir," Ujarnya penuh semangat.

"Sabar sayang, nanti adik bayi akan lahir. Tetapi tidak secepatnya oke," Istriku mengecup kedua pipi cubynya.

"Dony akan menunggu sampai adik bayi lahir" Dengan semangat dia menempelkan telinganya di perut istriku. Mengoceh apapun yang membuatnya bahagia.

Meskipun dia bukan anak kandungku, tetapi dia tetaplah anakku. Anak yang ku besarkan dengan kedua tanganku, anak yang setiap malamnya membuatku terbangun untuk membuatkannya susu. Anak yang akan selalu menjadi milikku sampai kapanpun. Ku kecup rambut coklatnya dan memeluknya erat. Seakan mengerti yang kurasakan Syafa meremas bahuku pelan dengan senyum manis di bibirnya.

Pria TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang