3rd - Sign Language

1.5K 223 21
                                    

HALILINTAR masih berusaha mempelajari sedikit demi sedikit bagaimana bahasa isyarat itu. Berulang kali dia mencari video tutorial dari berbagai sumber. Entah mengapa dia begitu bersemangat kali ini. Biasanya Halilintar tidak akan repot untuk melakukan sesuatu yang mengusik waktu luangnya. Dia lebih senang menghabiskan waktu untuk membaca novel untuk menghabiskan waktu jika tidak ada tugas lain yang harus dikerjakannya.

Jam dinding di kamar Halilintar menunjukkan pukul 11 malam. Dia masih tampak enggan untuk melepaskan pandangannya dari ponsel pintarnya itu. Sedikit keringat menitik di keningnya. Namun, Halilintar seakan tidak peduli dengan keadaan sekitar.

"Jadi aku harus melakukan itu jika ingin menyapanya," monolog Halilintar.

Dia menirukan berbagai gerakan tangan yang telah dipelajarinya itu. Seulas senyuman tercipta di wajah Halilintar yang dikenal sebagai sosok tanpa perasaan di kalangan temannya.

"Entah kenapa aku melakukan hal ini. Seperti bukan diriku saja," gumam Halilintar.

Dia tertawa kecil lalu melanjutkan pembelajarannya. Dia masih tidak sadar bahwa waktu terus berjalan dan hari telah berganti.

Dasar Halilintar.

|《¤》|

"Kenapa Abang telat bangun, hm? Begadang lagi?"

Suara Mara terdengar dari seberang sana. Kini Halilintar yang bingung harus menjawab apa.

"Tidak kok, Bunda. Lintar hanya tidak bisa tidur kemarin. Mungkin belum terbiasa saja," jawab Halilintar setenang mungkin. Dia memang pandai mengatur ekspresi wajahnya yang selalu tampak datar itu.

"Benarkah? Jangan begadang lagi, loh. Tidak baik untuk kesehatanmu."

"Baik, Bunda."

Mereka terus berbicara sembari menunggu Ochobot selesai memasakkan makan siang untuk Halilintar.

"Ayah di mana, Bun?" tanya Halilintar.

"Ayah sedang ada rapat penting hari ini. Jadi dia berangkat sedikit lebih cepat," jawab Mara di seberang sana.

"Taufan?" tanyanya lagi.

"Sedang bermain PS bersama temannya, mau Bunda panggilkan?"

Halilintar menggelengkan kepalanya pelan. Mereka masih melakukan video call sampai sekarang.

"Bunda, Taufan itu jangan terlalu dibebasin. Lihat nilai Taufan, tidak ada satupun yang bagus. Ayolah, Bunda pasti bisa menasehatinya," kata Halilintar.

"Bunda tahu itu, Abang. Bunda akan berusaha sebaik mungkin."

Mara tersenyum. Walaupun sosok Halilintar itu acuh tidak acuh saat bersama Taufan, Halilintar tetap peduli dengan prestasi adiknya itu. Bahkan Halilintar sering mengerjakan tugas Taufan yang belum terselesaikan agar sang adik tidak dihukum oleh gurunya.

"Maaf Lintar belum kasih contoh yang baik buat Taufan. Maaf Lintar sudah membuat Bunda kecewa."

Halilintar menunduk perlahan. Entah kenapa dia merasa sedikit kecewa dengan dirinya sendiri. Andai jika Halilintar berusaha lebih baik lagi.

"Abang sudah lakukan yang terbaik untuk Taufan. Jangan berkecil hati lagi."

Halilintar tersenyum kecil lalu dia mengangguk perlahan.

"Bunda tutup dulu ya. Bunda masih punya sedikit masalah di sini. Jaga diri Abang baik-baik. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Bunda."

Video call itu terputus.

Kini Halilintar kembali merebahkan dirinya di atas kasur nan empuk itu. Dia akan melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda tadi.

|《¤》|

"Dasar tidak becus! Pekerjaan sekecil ini saja tidak bisa kau lakukan! Dasar anak tidak berguna!"

Wanita itu menampar kuat pipi Gempa dan membuat remaja itu terhuyung ke belakang karena kuatnya tamparan wanita itu. Tampak darah keluar dari sudut bibirnya. Sepertinya dia kembali terluka.

"Cepat selesaikan pekerjaanmu! Jangan harap kau bisa makan jika pekerjaanmu belum selesai! Camkan itu!"

Wanita itu pun pergi dari hadapan Gempa. Gempa meringis tanpa suara karena luka di sudut bibirnya serta pipinya juga masih terasa panas karena tamparan sang Bibi.

Gempa berdiri.

Dia mengambil kemoceng yang terlempar cukup jauh. Beruntung sang Bibi tidak memukulnya dengan kemoceng itu.

Dia kembali membersihkan debu-debu yang masih menempel pada barang-barang yang ada di rumah itu. Sesekali dia menyeka air matanya yang turun karena rasa sakit yang masih terasa di pipinya itu. Dia ingin pergi saja dari rumah ini, namun dia tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya rumah ini yang menjadi peninggalan kedua orang tua. Dan entah mengapa Paman dan Bibi-nya malah mengaku bahwa rumah ini telah menjadi hak milik mereka padahal sudah jelas bahwa Gempa-lah yang seharusnya menjadi pemilik tunggal rumah ini. Akhirnya, dengan berat hati dia harus menjadi pembantu di rumahnya sendiri.

Gempa tidak lagi bersekolah sejak dia lulus SMP. Paman dan Bibi-nya enggan menyekolahkan Gempa. Alhasil selama dua tahun ini, Gempa tidak mengenyam pendidikan sedikitpun. Dia juga tidak memiliki ponsel sejak ponsel terakhirnya rusak. Sungguh, malang sekali nasib Gempa saat ini.

Gempa juga tidak tahu mengapa Paman dan Bibi-nya itu sangat membenci dirinya. Kesalahan apa yang Gempa lakukan sampai dirinya diperlakukan sedemikian rupa oleh mereka? Gempa tidak habis pikir dengan sikap mereka.

Gempa selalu menangis dalam diam setiap malamnya. Dia tidak punya seseorang yang dapat memberikan bahunya sebagai sandaran untuknya menangis. Dia tidak punya seseorang yang bisa mendengarkan segala keluh kesahnya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.

'Abi, Umi, bagaimana kabar kalian di sana? Kenapa kalian tidak membawa Gempa pergi bersama kalian? Gem sendirian disini. Gem kesepian. Gem rindu dengan kalian. Setidaknya, datanglah sekali ke dalam mimpi Gempa, ya. Sekali saja, Gem sangat merindukan kalian.'

Gempa menghela napas pelan. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Dia tidak mau lagi membuat Bibi-nya marah.

'Apa kabar dengan Halilintar ya?'

|《¤》|

"Kau terlalu menyiksanya. Bagaimana jika penduduk desa mencurigai kita berdua?" tanya pria itu.

"Selama dia tidak memiliki teman, kita berdua akan aman. Aku tidak bisa membiarkan anak itu hidup bahagia. Aku harus membuatnya merasakan penderitaan yang aku rasakan. Dia yang harus membayar perbuatan kedua orangtuanya dulu baru aku berhenti menyiksanya. Kau tahu, bahkan rasa sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan apa yang kurasakan!"

Wanita itu telah dipenuhi rasa dendam yang teramat pekat. Sebuah kesalahpahaman telah membuat hatinya tidak lagi tersentuh.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Mute Prince | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang