"Terima kasih telah menemaniku hari ini, Kak Linlin."
GEMPA tersenyum kepada Halilintar. Lalu perlahan membuka jaket Halilintar yang masih melekat di badannya itu. Namun secepat kilat pula Halilintar menahan tangan mungil Gempa.
"Pakai saja, urm... anggap saja itu kado dariku."
"Tapi--"
"Aku tidak menerima penolakan, Gempa."
Halilintar kembali berkata.
Gempa mengangguk kecil.
Halilintar mengantarkan Gempa tepat di depan rumahnya itu. Namun sekilas dia melihat Gempa yang tampak sedikit ketakutan. Walaupun ekspresi Gempa tampak biasa saja, Halilintar tahu bahwa Gempa sedang tidak baik-baik saja.
"Gem? Kenapa kau tampak gelisah? Apa ada yang salah?"
"Tidak."
"Jadi?"
"Aku baik-baik saja, Kak Linlin."
Halilintar mengangguk, lalu perlahan mengusap rambut Gempa pelan.
"Sekali lagi, selamat ulang tahun untukmu Gempa. Lain kali, jika kau bosan, datanglah ke rumahku. Aku selalu ada disana untukmu," kata Halilintar.
"Terima kasih, Kak Linlin."
Halilintar kembali mengangguk dan kemudian berbalik badan untuk pulang ke rumahnya. Untuk sejenak, dia merasa beruntung dipindahkan ke desa ini.
|《¤》|
PLAK!
"Bagus! Darimana saja kau sampai pulang selarut ini, huh?! Kau kira kau siapa sampai kau berani keluar malam tanpa seijinku?! Dasar anak tidak tahu diri!"
CTASH! CTASH!
Setelah menampar Gempa dengan begitu kuatnya, wanita yang disebut Gempa sebagai Bibi-nya itu kembali melibas Gempa dengan rotan yang ada di tangannya.
"Dan jaket siapa lagi yang kau pakai, huh?! Jangan bilang kau mencuri?! Aku tidak mau tahu, kembalikan jaket itu pada pemiliknya! Jika sempat besok aku masih melihat jaketmu itu, akan kubakar jaket itu sampai menjadi debu!"
Bibi Gempa langsung meninggalkan Gempa yang menangis dalam diam itu. Gempa tidak bisa mengeluarkan suaranya. Dia terlalu takut untuk sekadar mengeluarkan suara rintihan.
"Satu lagi, jangan kau kira aku tidak tahu hubunganmu dengan anak yang baru pindah ke desa ini beberapa hari yang lalu. Aku minta kau menjauhinya. Jika tidak, kau tahu apa yang bisa aku lakukan padanya, Keponakanku."
Gempa mengangguk perlahan. Dia berusaha berdiri walaupun seluruh tubuhnya terasa sakit. Dia harus segera mengobati lukanya.
'Aku harus mengembalikan jaket ini. Aku tidak mau merusak jaket yang diberikannya padaku. Lebih baik aku mengembalikannya saja.'
Langkahnya tertatih menuju kamarnya yang berada di lantai dua itu. Dia sudah biasa menerima perlakuan seperti ini.
'Terima kasih untuk beberapa hari ini, Kak Linlin. Tapi maaf, aku tidak mau kakak terluka karena diriku. Selamat tinggal.'
Gempa menutup kamarnya. Kebahagiannya telah terenggut paksa. Dia hanya bisa menangis. Tanpa seorang pun yang tahu bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
|《¤》|
"Bagaimana kabarmu, Taufan? Kau tidak menyusahkan Ayah dan Bunda kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mute Prince | ✔
Fanfic[T H I R D P R O J E C T] Finished! Kisah seorang pemuda yang bertemu dengan salah satu penghuni desa tempat di mana dirinya 'diusir' oleh kedua orang tuanya sebagai hukuman. "Hei? Kau tinggal di sini? Namaku Halilintar. Siapa namamu?" "....." Tid...