4th - His Birthday

1.4K 225 55
                                    

SAAT ini Halilintar tengah berjibaku dengan beberapa buku latihannya. Jangan salah, Halilintar termasuk murid yang cerdas. Bahkan beberapa materi yang belum pernah dijelaskan oleh gurunya pun mampu dikerjakan secara otodidak dengan mengandalkan buku dan tentu saja ponsel pintar-nya. Halilintar selalu menggunakan semua fasilitas yang didapatnya semaksimal mungkin.

Namun kali ini dia merasa sangat bosan. Dia hanya membolak-balikkan halaman buku latihannya itu. Jujur saja, soal-soal latihan itu tampak tidak menarik baginya.

Halilintar melihat jam melalui ponselnya. Mata dengan manik ruby miliknya itu tampak sayu. Halilintar sedang dijajah oleh rasa bosan.

"Jam 11. Aku sangat bosan di sini," gumamnya.

Halilintar kini berjalan ke arah balkon untuk menikmati semilir angin malam. Rambutnya bergerak kesana-kemari mengikuti angin itu. Tatapannya kini terpaku pada rumah di mana Gempa tinggal sekarang.

"Apa kabar dengan Gempa, ya?"

Pandangan Halilintar masih tetap menuju rumah itu sampai akhirnya dia menangkap seberkas cahaya keluar dari rumah Gempa--lebih tepatnya Gempa sedang membawa lilin kecil di tangannya.

'Apa yang dilakukannya?'

Halilintar langsung bergegas memakai jaketnya dan keluar untuk mengikuti Gempa. Satu hari tidak menemuinya membuat Halilintar sedikit merindukan sosok remaja mungil itu.

Mungkin Halilintar bisa mengetahui sedikit mengenainya.

Gempa perlahan berjalan menuju ke arah sungai di dekat hutan itu tanpa menyadari Halilintar tengah mengikutinya secara diam-diam. Gempa pergi ke tempat di mana dirinya dan Halilintar duduk bersama hari itu.

Gempa kemudian duduk bersila di bawah pohon itu sembari mengahap ke arah sungai dan membelakangi Halilintar. Dia meletakkan lilin itu di depannya sebagai penerangan di gelapnya malam itu. Gempa tampak tidak takut dengan keadaan sekitarnya.

'Apa yang dia lakukan? Apa dia melakukan pemujaan?'

Halilintar semakin mendekat ke arah Gempa berada. Dia sungguh penasaran dengan remaja yang satu ini.

"Gempa? Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Sontak saja remaja yang namanya disebut itu terkejut bukan main. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Halilintar sedang menatapnya intens.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Tanpa sadar Gempa menggunakan bahasa isyarat kepada Halilintar. Namun sedetik kemudian dia tersadar bahwa Halilintar tidak mengerti bahasa itu. Dia menepuk pelan keningnya.

Halilintar tersenyum.

"Aku paham maksudmu. Lihat! Aku bisa bahasa isyarat sekarang. Belum fasih, tapi cukup untuk berbicara denganmu."

Gempa masih terpaku pada sosok pemuda di depannya itu. Bagaimana mungkin Halilintar bisa secepat itu belajar bahasa isyarat? Bahkan di desa ini tidak ada guru ataupun orang yang mengajarkan sesuatu mengenai bahasa isyarat.

"Bagaimana bisa?" tanya Gempa sembari sedikit memiringkan kepalanya.

"Sejak kemarin aku belajar melalui internet. Sedikit sulit, tapi bukan masalah berarti untukku. Jangan lupa, kau masih belum menjawab pertanyaanku Gempa."

Gempa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal itu. Dia bingung harus menjawab apa.

"Hanya melakukan kegiatan rutin setiap tahunnya."

"Pemujaan?"

Gempa menjitak pelan kepala Halilintar. Dia harus sedikit menjinjit karena perbedaan tinggi mereka itu. Gempa mengerucutkan bibirnya kesal. Bagaimana bisa dirinya dituduh melakukan pemujaan.

The Mute Prince | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang