6th - Miss and Loss

1.3K 213 65
                                    

'Maaf, aku tidak bisa menerima jaket ini. Kumohon, menjauhlah dariku. Selamat tinggal.'

SEJAK jaket dan surat itu diterima oleh Halilintar, sejak saat itu juga Gempa tidak pernah terlihat lagi oleh Halilintar.

Sungguh, Halilintar sangat merindukan sosok Gempa. Halilintar merasa ada yang aneh dengan surat itu dan mengapa jaket yang diberikannya kepada Gempa dikembalikan?

"Jika kau memang tidak suka denganku, seharusnya kau mengatakannya sejak dulu, Gempa."

Halilintar bergumam sendiri di balkon kamarnya. Kedua matanya menatap lurus rumah yang berada di hadapannya seolah dia mampu merubuhkan rumah itu dengan tatapannya saja. Namun, bukan itu yang Halilintar harapkan. Dia hanya ingin melihat Gempa. Dia harus memastikan keadaan pemuda itu. Dan dia juga harus mendapatkan alasan logis mengapa Gempa memutuskan hubungan persahabatan mereka.

Halilintar merasakan sesuatu hilang dari dirinya. Kehilangan seorang sahabat yang berharga baginya.

Ini alasan mengapa Halilintar tidak mau membuka diri kepada sembarangan orang, tapi sekarang apa? Dia telah membuka dirinya, namun dia juga ditinggalkan. Halilintar salah apa? Apa dirinya memang tidak pantas untuk memiliki seorang teman?

"Aku tidak akan melepaskanmu, Gempa. Kau yang mulai masuk ke dalam kehidupanku, dan tiba-tiba kau meninggalkanku. Kau egois, Gem. Aku harus berbicara padamu."

Halilintar mau tahu apa alasan Gempa kali ini. Semoga saja Gempa mempunyai alasan yang logis karena Halilintar tidak akan semudah itu percaya dengan alasan konyol yang tidak mungkin diterima oleh akal sehatnya.

|《¤》|

Kali ini Gempa termenung di dalam kamarnya. Setelah dia mengembalikan jaket milik Halilintar, dia benar-benar mengurung dirinya agar tidak berjumpa dengan Halilintar lagi. Jujur saja, dia tidak mau seperti ini. Namun, dia tidak mau Halilintar terluka karena dirinya.

Dia senang saat pertama kali bertemu dengan Halilintar. Walaupun awalnya Gempa memang tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu. Dia hanya ingin tahu siapa calon tetangganya itu. Namun pada akhirnya mereka malah berteman dan berujung Gempa harus memutuskannya secara sepihak.

Jika boleh jujur, Halilintar adalah teman pertama bagi Gempa. Dia tidak punya seorangpun teman di desa ini. Tapi, keberuntungan tidak pernah berpihak kepadanya. Semua yang membuatnya bahagia telah direbut paksa darinya.

Sekarang, dia hanya menatap kosong belakang rumahnya itu. Pandangannya memang tertuju pada kolam hias di belakang rumahnya itu, hanya saja pikirannya melayang jauh.

Namun setelahnya dia terkejut karena mendapati seorang pemuda yang sedang memanjat pagar belakang rumahnya. Sontak aja dia langsung berlari dari kamarnya dan menuju ke halaman belakang.

Jantungnya berdetak kencang karena dia baru sadar siapa yang dengan beraninya memanjat pagar belakang rumahnya.

'Kenapa Halilintar datang?'

|《¤》|

"Kak Linlin? Kenapa datang?!"

Halilintar tidak menjawabnya. Dia hanya menatap Gempa intens. Dia hanya diam tanpa sedikitpun bicara dan tentu saja membuat Gempa sedikit takut karena aura yang dikeluarkan Halilintar sangat berbeda.

'Apa dia marah padaku?'

"Kak Linlin? Kenapa kakak bisa disini? Kenapa juga harus memanjat pagar itu?"

"Kenapa, Gem? Kenapa?"

Gempa awalnya bingung apa maksud Halilintar kini langsung mengerti arah pertanyaan Halilintar itu. Namun dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Apa aku jahat sampai kau tidak mau berteman denganku? Apa aku jelek sehingga kau malu berteman denganku? Apa aku orang yang buruk sehingga kau meninggalkanku, Gempa?"

Gempa hanya diam dan menunduk. Kedua tangannya menggemgam ujung bajunya itu. Sungguh, dia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya kepada Halilintar.

"Jawab aku, Gempa. Kau tidak bisa egois seperti ini. Aku perlu alasan kenapa kau bisa mengatakan hal seperti itu padaku."

Halilintar masih tetap pada posisinya. Namun suaranya tampak datar. Dia harus tahu apa alasan Gempa.

"Maafkan aku."

"Aku tidak meminta permintaan maafmu, Gempa. Aku mau dengar apa alasanmu," kata Halilintar.

Gempa kembali terdiam. Nada biacara Halilintar benar-benar mengintimidasinya. Namun, apa yang bisa dia jelaskan pada Halilintar?

"Aku butuh jawabanmu, Gempa. Jika kau memang benar-benar tidak ingin berteman denganku, mengapa kau datang ke dalam kehidupanku Gempa? Aku cuma ingin menjadi temanmu saja. Apa itu terlalu berat untuk kudapatkan?"

Halilintar mengepalkan tangannya kuat. Dia tidak tahu mengapa dirinya begitu emosional sekarang.

"Kumohon, berikan aku alasan yang pasti Gempa."

Halilintar semakin memelankan suaranya. Dia memang tidak bisa membentak sosok di depannya itu. Tapi entah mengapa, saat dirinya menerima surat serta jaket itu, hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Karena baginya, hubungan persahabatan itu sangat berharga.

"Kau tahu Gempa, kau adalah orang yang pertama kali aku anggap sebagai temanku yang sesungguhnya. Aku telah membuka diri agar bisa berteman denganmu. Aku belajar berbahasa isyarat juga untukmu. Namun, kenapa kau membalasku seperti ini, Gempa?"

Kepalan tangannya semakin kuat. Buku tangannya semakin memutih. Setetes demi setetes darah mulai jatuh dari tangan Halilintar akibat tergores oleh kuku karena kuatnya usaha Halilintar menahan emosinya.

"Berhentilah! Aku akan menjelaskan semuanya. Tanganmu berdarah, Kak Linlin."

"Jika kau memang ingin menjauh dariku, apa pedulimu jika aku terluka ataupun mati nantinya? Kau tidak ingin berteman lagi denganku, bukan?"

"Jangan keras kepala, Kak Linlin. Jika kakak tidak ingin mengobati luka itu karena diriku, maka lakukan itu demi kakak sendiri. Aku mohon, berhentilah!"

Gempa menggemgam erat tangan kanan Halilintar yang berdarah itu. Wajahnya kini diangkat dan menatap Halilintar sendu. Kedua matanya memerah karena menahan tangis, badannya bergetar karena darah itu masih setia mengucur dari tangan Halilintar.

"Aku tidak mau kakak terluka hanya karena diriku."

Gempa ingin menangis saja sekarang. Dia tidak tahu kenapa Halilintar bisa sekeras kepala itu.

"Kenapa, Gempa? Kenapa?"

Halilintar menarik kasar tangannya. Dia benar-benar tidak peduli dengan kondisi bahwa darah itu harus segera dibersihkan.

"Aku--"

"Gempa?! Dimana kau?! Kenapa rumah ini belum kau bereskan?!"

Astaga, kenapa harus sekarang?[]

Astaga, kenapa harus sekarang?[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Mute Prince | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang