DI SINILAH aku berada sekarang dengan kepalaku yang dibaluti oleh perban. Lukaku tidak terlalu parah, jadi aku bangun lebih cepat.
Ruangan berbalut cat putih ini kini diisi oleh keluarga Delano, yaitu keluarga dari Halilintar sendiri. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan keluarga Halilintar dengan cara yang sedikit anti-mainstream ini. Jujur saja, aku ingin menangis saja sekarang. Aku tahu aku cengeng. Jangan menertawaiku.
Sejak kejadian di mana Halilintar yang berusaha menyelamatkanku dari kejahatan paman dan bibi, Halilintar masih terbaring di atas brankar dengan alat bantu pernafasan dan jarum infus yang masih setia menempel di tangan kanannya itu.
Aku hanya bisa diam karena akulah penyebab Halilintar seperti itu. Akulah yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Halilintar. Akulah yang patut disalahkan. Karena, jika Halilintar tidak datang untuk menyelamatkanku, Halilintar tidak akan terluka seperti ini.
Aku duduk di pinggir brankar Halilintar, berdoa kepada Yang Mahakuasa agar Halilintar diberikan kekuatan agar bisa kembali sembuh.
Dulu, aku hanya ingin tahu siapa oknum yang akan tinggal di rumah kosong itu. Aku tidak pernah berpikir bahwa kejadian itu akan mempertemukanku dengan Halilintar.
Dia dengan tergesa-gesa lari ke arahku lalu bertanya siapa namaku. Jujur, aku sangat terkejut dengan tindakan spontan Halilintar itu, dan hasilnya aku hanya tersenyum kepadanya.
Aku tidak bisa berbicara--lebih tepatnya aku dilarang berbicara. Oleh karena itu aku belajar bahasa isyarat sebagai alat komunikasiku.
Hari itu adalah hari di mana aku memiliki seorang teman. Aku sungguh bahagia. Bahkan sangat bahagia, selama ini aku tidak memiliki seorang teman. Halilintar adalah temanku yang pertama. Beberapa hari yang kulewati bersamanya benar-benar mengubah hidupku. Aku kembali mengeluarkan suaraku setelah sekian lama. Aku terbebas dari belenggu paman dan bibiku yang jahat.
Hanya saja, konsekuensi yang harus kuterima adalah Halilintar yang hampir meregang nyawa karena diriku.
"Kau Gempa, bukan?" tanya pemuda beriris biru shappire itu. Aku mengenalnya. Dia Taufan, adik dari Halilintar.
Aku mengangguk lemah. Aku telah siap menerima semua makian dan sumpah serapah yang mungkin saja akan terlontar kepadaku detik ini juga.
"Terima kasih," katanya.
Apa maksudnya?
Untuk apa dia berterima kasih?
Terima kasih karena telah melukai Halilintar?
Ayolah, lebih baik aku dihukum sekarang juga.
"Selain aku, baru kau yang bang Lintar terima sebagai orang terdekatnya. Ya, terhitung juga Ayah dan Bunda. Selama ini, bang Lintar tidak pernah terlalu terbuka dengan semua orang, dia hanya menunjukkan dirinya dari luar saja, bukan dengan dirinya yang sesungguhnya."
Taufan tersenyum kepadaku. Senyumannya begitu ceria dan hangat bagiku. Namun tetap saja, ini bukan hal yang kuinginkan. Bukan dengan cara ini aku bertemu dengan Taufan. Bukan dengan keadaan seperti ini aku bertemu dengan keluarga Halilintar.
"Jika kau bukan orang penting baginya, aku jamin kau masih akan menderita bersama kedua orang jahat itu. Aku tidak marah padamu, sungguh, aku tidak marah denganmu karena keadaan bang Lintar sekarang. Kau tahu? Ini bukan kali pertamanya dia masuk rumah sakit. Jadi kami tidak terlalu khawatir dengannya."
Taufan terkekeh pelan. Dia melihat Halilintar yang masih memejamkan matanya itu. Lalu tersenyum kecil.
"Oleh karena itu, terima kasih Gempa. Terima kasih telah menerima bang Lintar. Dan jangan menyalahkan dirimu karena keadaannya. Tenang saja, bang Lintar orang yang kuat. Dia tidak akan mati hanya karena luka seperti itu."
Taufan mengusak pelan rambutku dan langsung manarikku ke dalam pelukannya. Dia bahkan tidak peduli keadaanku yang jauh dari kata bersih ini.
"Ternyata kau nyaman untuk dipeluk Gem," kata Taufan.
Aku hanya bisa menangis. Aku bahkan tidak membalas pelukan Taufan. Aku tidak tahu harus apa. Bagaimana bisa Taufan sebaik ini padaku?
"Nanti aku kenalin sama Ayah dan Bunda ya. Mereka pasti senang bisa mengenal sosok yang berhasil menjinakkan abang tsundere-ku itu," kata Taufan sembari melepas pelukannya.
"Senyumlah, dan jangan menangis lagi."
|《¤》|
"Taufan! Kamu apakan anak Bunda sampai-sampai dia menangis?"
Bunda Mara yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Halilintar pun langsung mendorong Taufan dan mengakibatkan pemuda beriris biru shappire itu jatuh dengan tidak elitnya. Wajah tampan Taufan kini mencium halusnya lantai ruangan itu.
"Upan? Kamu ngapain? Nge-cosplay jadi kain pel?" tanya Amato yang baru masuk ke ruangan itu sembari membawa kantung plastik beriskan makanan yang dipesan olehnya.
Lalu, pandangannya kini beralih kepada Gempa yang sedang menangis terisak-isak. Buru-buru Amato menuju ke arah Gempa dan mengabaikan Taufan yang meminta tolong agar dibantu untuk berdiri.
"Anak Ayah kenapa, hm? Upan gangguin kamu? Nanti Ayah jual deh dianya," ucap Amato sembari berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Gempa lalu mengelus pelan rambut Gempa.
"Maafin Gem udah buat Kak Linlin terluka," lirihnya.
"Lintar bakalan baik-baik saja kok. Kamu tenang saja," kata Amato.
"Benar, Halilintar itu kuat. Bunda yakin dia akan baik-baik saja. Jadi, anak Bunda yang manis ini jangan nangis lagi, ya?"
Mara juga berjongkok dan menyamakan tingginya dengan Gempa. Tangan halusnya menyentuh dagu Gempa dan mengangkatnya sedikit sehingga kedua iris mata mereka saling bertemu.
"Sepertinya, Halilintar akan dapat adik baru kali ini," ucap Mara sembari tersenyum kepada Gempa.
Amato juga mengangguk. Amato memegang kedua pundak Gempa dan memutar tubuh mungil Gempa agar berhadapan dengannya.
"Mulai sekarang, panggil kami Ayah dan Bunda ya. Sama seperti Lintar dan Upan, kamu adalah anak Ayah dan Bunda."
Amato pun tersenyum hangat, dan lagi-lagi Gempa hanya bisa menangis. Antara bahagia dan sedih kini bercampur dalam lubuk hati Gempa.
"K-kenapa? Gem hanya orang asing," kata Gempa pelan.
"Biar Ayah punya alasan jual Taufan ke luar negeri," jawab Amato santai.
"Jahat!" ketus Taufan yang masih tetap dalam posisinya.
Amato dan Mara tertawa. Lalu mereka kembali menatap ke arah Gempa.
"Gempa mau kan jadi adik kecilnya Halilintar dan Taufan?"
'Abi, Umi, apa ini yang Tuhan rencanakan untuk Gem? Apa Gem akan bahagia kali ini?'
"Gempa pasti mau. Jika tidak, aku akan menuntutnya karena luka yang aku dapatkan ini," kata Halilintar yang sejak tadi sudah siuman dengan suara serak. Bahkan dia sempat melihat Taufan yang terdorong oleh Mara dan berakhir dengan Taufan yang sedang cosplay menjadi kain pel itu.
Gempa yang melihat Halilintar tersenyum kecil kepadanya langsung membuat Gempa memeluk Halilintar. Dia bahagia sekali. Halilintar baik-baik saja.
"Hiks--- Kak Linlin!"
Halilintar mengelus pelan punggung Gempa. Walaupun tubuhnya masih terasa sakit, namun dia bersyukur bahwa Gempa baik-baik saja.
Halilintar telah berhasil menyelamatkan Gempa.
"Aku kembali, Gempa."[]
The End
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mute Prince | ✔
Fiksi Penggemar[T H I R D P R O J E C T] Finished! Kisah seorang pemuda yang bertemu dengan salah satu penghuni desa tempat di mana dirinya 'diusir' oleh kedua orang tuanya sebagai hukuman. "Hei? Kau tinggal di sini? Namaku Halilintar. Siapa namamu?" "....." Tid...