8. Bobok Bareng

837 83 79
                                    

"Selalu kayak gini..."

Tin menggendong Can yang tidak sadarkan diri ke kosannya. Jarak kosan Tekno dengan kosan Can lumayan jauh, dua puluh menit perjalanan. Tin menyewa grab untuk membawa mereka.

Can itu kelihatannya doang kecil, tapi berat. Dia makan banyak.

Tekno menyuruh mereka menginap di kosannya tapi Tin bersikeras bawa Can pulang.

"Mau bobok bareng ya kalian berdua? Nakal lo!" Kla mengejek Tin.

"Bacot tolol."

Can itu kalau tidur suka nggerumel sambil nendang-nendang. Dia menguasai kasur dan biasa bangun untuk bolak-balik ke kamar mandi. Teman-temannya bakal ngamuk karena terganggu.

Tin menurunkan Can di depan kamarnya dan merogoh saku celana Can mencari kunci. Ia membuka pintu dan masuk, lalu membaringkan sahabatnya ke tempat tidur. Tin menutup pintu dan menguncinya sebelum kembali ke Can untuk melepas bajunya.

Pukul satu dinihari, suasana kosan begitu sunyi meski di luar jalanan masih ramai suara kendaraan.

Tin terbiasa mengurus Can saat mabuk. Sahabatnya itu memang payah kalau minum. Alcohol tolerancenya sangat rendah. Can bisa langsung high hanya dengan dua sloki tegukan dan ambruk di sloki ke lima. Itu sebabnya Tin tidak pernah membiarkan Can pergi minum sendiri.

Selesai melepas baju dan celana jins Can, Tin melemparnya ke keranjang cucian lalu ke kamar mandi untuk mengambil handuk dan air. Bukan hanya badan Can penuh keringat, dia sempat memuntahkan minumannya saat di jalan.

Tin menyeka badan Can dengan telaten. Ia membersihkan wajahnya, keningnya, mengelap leher, dada, perut dan punggung Can meski cowok itu menggerumel.

Selesai membersihkan badan Can, Tin mengembalikan handuk kemudian membuka lemari mencari celana pendek yang nyaman. Yakali dia bakal membiarkan temannya tidur cuma pakai sempak.

"Tiiiiiin..." Can merengek.

Tin sedang mengangkat satu kaki Can untuk memakaikannya celana bokser.

"Hm."

"Bantuin gue lagi na." Sebulir airmata jatuh dari sudut matanya.

Can menggenggam erat tangan Tin yang sedang memegang celananya. Masih separuh jalan, baru sampai paha.

Tin merasakan pipinya panas saat melihat Can yang berbaring di bawahnya. Ini bukan pertama kali bagi mereka. Tapi tetap saja, sengatan listrik itu mengejutkannya. Dia sangat paham arti 'membantu'.

Tin menatapnya dalam. Can terlentang tak berdaya. Wajahnya merah, bibirnya basah, matanya memandang sayu. Ia terlihat sangat putus asa.

Perlahan Tin mengelus pipinya, merasakan kulit lembut di bawah jarinya.

Tin membungkuk, menancapkan bibir ke leher Can dan menyesapnya. Ia menjilat tulang selangka, leher, dagu hingga mendarat di bibir Can. Sesering apapun mereka berciuman, Tin tidak pernah merasa cukup. Ia melumat bibir bawahnya, menyesap lidahnya keras, hingga keduanya kehabisan napas.

Tin menggerakkan jarinya di perut Can, membelainya lembut.

Can mengerang. Rasanya seperti terbakar. Can ingin lupa. Dia ingin sakit di hatinya teralihkan untuk rasa sakit yang lain. Jadi saat Tin membuka pakaiannya sendiri dan kembali menyerang, Can hanya bisa menerima.

Tin membawanya ke puncak berkali-kali. Seperti biasanya.

Pagi itu Can bangun dengan kepala pening dan lengan Tin melingkari perutnya. Anehnya, ia merasa lega.

Jadi Can kembali tidur dengan senyum tersungging di bibirnya. Tanpa menyadari Tin yang sudah bangun sejak tadi memperhatikannya diam-diam.

.

.

.

END


Oi oiiii....










Maret 25, 2021

BROFRIEND • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang