Chapter 7: Lavender

243 38 0
                                    

Sore ini, Bright dan Meta duduk memandangi padang lavender.
Musim panas di Hokkaido selalu penuh bunga-bunga cantik di seluruh penjuru pulau.

“Bright,” panggil Meta kepada pemuda di sebelahnya.
Hari itu agenda mereka adalah bersantai.
Ibu Meta menyuruhnya beristirahat hari ini, karena belakangan Meta sudah berusaha keras untuk melakukan riset rasa-rasa es krim baru di musim mendatang. Tentunya dibantu oleh Bright.

“Hm?”Bright menoleh, mendapati helaian rambut halus Meta jatuh menutupi mata jernihnya.
Bright menyibaknya pelan, menimbulkan rona sewarna persik di pipi gembil Meta.

Pemuda manis itu salah tingkah, berusaha keras mencari pengalihan dari rona alami wajahnya ketika didengarnya nada dering dari ponsel Bright.

“Bright, ada panggilan masuk dari ponselmu.”

“Biarkan saja.”

“Apa-apaan? Bagaimana kalau itu penting?”Meta mengomeli Bright.

“Pasti itu adik tiriku,”tukas lelaki itu, nampak masih acuh dengan ponselnya seakan itu bukan pertama kalinya terjadi.

“Adik tiri? Kau belum pernah bercerita tentang ini. Maaf, bukannya aku bermaksud-”

“Tidak apa-apa. Aku memang akan menceritakannya padamu hari ini.”

Dan akhirnya tumpahlah kegelisahan Bright bertahun-tahun ini.
Dimulai dari kisah ibu Bright yang meninggal dalam tidurnya, enam tahun yang lalu. Tanpa pamit, tanpa permisi, dan tanpa pertanda.
Saat itu, Bright merasa hancur sehancurnya.

“Kau tahu Meta, bahkan aku tak sempat mengucap selamat tinggal, mendengarkan kata terakhirnya. Hari itu berjalan seperti biasanya tanpa ada yang menyangka itu adalah saat terakhirku melihat senyumnya.”

Bright menghela napas, menerawang jauh hamparan kembang ungu di hadapannya.

“Dua tahun kemudian, ayah menikah lagi dengan ibu dari saudari tiriku, Love. Sungguh aku tidak ingin kekanakan, tapi hatiku terluka mengetahui Ayah dapat mencintai wanita lain setelah Ibu.”

Meta merapatkan duduknya ke arah Bright, mulai memberikan usapan dukungan ke punggung pemuda itu.

“Aku…saat itu kecewa, frustrasi, dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di sini. Dimanapun yang jauh, asal tidak ada Ayah di hadapanku. Makin lama aku makin terbiasa tak menggubrisnya, berapa kalipun ia dan keluarga tiriku berusaha menghubungiku. Aku tidak tahu, rasa marah itu telah lama hilang. Namun aku tak bisa berhenti mendiamkannya. Sampai akhirnya mereka lelah mencoba terhubung denganku. Namun sejak awal liburan musim panas, Love kembali menghubungiku lagi.”

Maka teranglah kini untuk Meta, mengapa Bright kadang terasa dekat namun bersekat.

Luka di hatinya sudah terlalu dalam dan tak kunjung kering. Walaupun Meta tak mungkin menghakimi siapapun di kisah ini, karena Meta yakin ada banyak sisi yang berbeda dalam satu hal.

“Aku melihatnya mengirim pesan tentang Ayah yang jatuh sakit. Entahlah, aku masih tidak dapat melihat wajahnya lagi setelah sekian lama. Apakah aku marah? Tapi aku tidak merasakan emosi apapun. Aku hanya ingin menahan ini lebih lama lagi. Mungkin selamanya, mungkin juga tidak.”

Meta sejatinya menangkap satu hal. Bright dan sikapnya ini merupakan wujud dendamnya kepada sang Ayah.

Satu kepingan di jiwanya telah pergi, dan tak akan pernah sama lagi.

Dan dalam hal ini, Meta mencoba satu peruntungannya.

“Bright?” Meta mencicit lirih, namun masih bisa ditangkap oleh rungu Bright. Bright menoleh sesaat, memusatkan perhatiannya kepada yang muda.

“Jika aku mati… apakah kau akan datang ke pemakamanku?”

Bright terkesiap mendengar pertanyaan itu.
Matanya mencari canda di balik tanya pemuda kelinci. Otaknya bekerja cepat menerjemahkan arti maupun jawaban apa yang diinginkan oleh Meta.

Nihil, Bright belum mampu mencernanya.

“Kenapa bertanya begitu?”

“Ingin tahu saja. Kenapa serius sekali, sih?” Meta mencoba melemaskan pembicaraan mereka yang ternyata berujung cukup kaku.

Namun Bright menangkap lain. Muncul rasa takut dalam hatinya bila sewaktu-waktu hari indah seperti ini tak dapat berlangsung selamanya.
Memangnya apa yang abadi? Namun hati Bright terlalu lemah untuk menerima kenyataan ini.

Bayangan ditinggalkan tanpa pamit mulai merasuki dirinya, lagi. Wajahnya mulai memucat.

“Bright? Astaga Bright, ada apa denganmu?” Meta yg sedari tadi bersisian merasakan tubuh Bright yang dingin, menangkap samar wajah Bright yang kaku dan memucat.

Seketika Bright memeluk Meta.

“Tidak ada yang akan pergi lagi. Tolong jangan berkata seperti itu. Aku mohon, jangan ada yang meninggalkan aku lagi seperti Ibu.”

Meta merasakan getaran dari tubuh Bright. Ia menyesal menyebabkan Bright menjadi seperti ini.

Meta mengusap punggung pemuda itu perlahan.

“Tidak ada yang akan pergi, Bright,”ujarnya lirih meyakinkan Bright, atau mungkin juga, dirinya sendiri.

Hana, Hanabi  [BRIGHTWIN] | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang