Posesif II

14K 1.3K 19
                                    

...

"Kau sedang menyusuinya?" Adiyaksa mengintip Raka yang tengah ditidurkan oleh Arya. Raka memeluk Arya hingga wajahnya merapat pada Arya.

Arya menoleh terkejut, mendapati Ayahnya sedang mengintip.

"Ssstt! Ayah, nanti dia bangun. Kenapa kesini? Tunggu di ruang tengah" Ujar Arya selirih mungkin ia tak ingin buntelan lucunya terbangun dan menangis lagi.

Adiyaksa mengangguk-ngangguk. Ia begitu penasaran hingga membawanya ke kamar Arya. Ia ingin melihat lagi wajah bocah yang menyebut anaknya Papa.

Dimas sudah diutus ke perusahaan untuk kembali. Adiyaksa yang memintanya untuk segera kembali. Adiyaksa menyeruput teh yang sudah tidak hangat lagi. Sambil berpikir bagaimana bisa dia tiba-tiba menjadi kakek.

Arya sudah disana dengan beberapa berkas yang diambilnya. Diserahkannya berkas itu pada Ayahnya.

Adiyaksa mengernyit perlahan ia membuka berkas-berkas itu.

"Kau sampai tes empat kali?"

"..." Arya hanya mengangguk.

"Siapa ibunya?"

"Akupun tidak tahu"

Adiyaksa langsung melotot. Ia memukul Arya dengan berkas tes dna yang dipegangnya.

"Bagaimana bisa kau tidak mengetahui ibunya?! Lalu bagaimana anak ini bisa datang padamu?"

Arya menjelaskan bagaimana cerita ia bertemu dengan Raka sekaligus menceritakan kecurigaan terhadap Raka yang mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya tengah mencari informasi siapa ibu dari Raka dibantu oleh Dimas.

Selain itu, Arya juga menceritakan bagaimana Raka yang sembelit, sakit demam dan terus menempel padanya. Ia jadi sekalian curhat pada Ayahnya.

Adiyaksa mengangguk-ngangguk mendengar cerita Arya, ia tersenyum-senyum sendiri.

"Kenapa menertawaiku?" Arya yang tidak suka dengan tanggapan Ayahnya, bertanya.

"Hahaha. Rasakan, begitulah jadi orangtua. Kau akan selalu cemas dengan puteramu. Makanya, jangan durhaka padaku dan ibumu. Terasa kan sekarang?"

Arya mendecih, bukannya mendapat pencerahan, ia hanya mendapatkan ledekan dari ayahnya.

"Tapi kulihat kau sangat sayang padanya. Aku melihat kau seperti bukan anakku yang dingin seperti es itu. Anakmu juga sepertinya sayang padamu, sampai kakiku ditendangi tadi"

Arya juga tidak tahu apakah memang ia benar-benar sudah sayang pada anaknya.

"Tidak mau menikah tapi memiliki anak, kau kualat pada orangtuamu, son"

Adiyaksa kembali mengolok-olok Arya.

"Kenapa Ayah senang sekali meledeku huh?"

Adiyaksa terkekeh.

"Aku hanya senang, aku punya cucu sekarang. Tunggu ibumu tahu ia juga pasti senang. Ya Tuhan, engkau mengabulkan permintaan kami yang ingin segera menggendong cucu" Adiyaksa sungguh-sungguh bersyukur.

Arya mengurut pangkal hidungnya, bagaimana ayahnya bisa sangat senang ketika justru Arya sungguh bingung akan kehadiran Raka yang tiba-tiba.

Jika mungkin para orangtua sangat menantikan anaknya lahir, tentunya mereka sudah bersiap menjadi seorang orangtua. Namun bagi Arya ini terlalu mendadak, terlebih prinsip Arya yang tidak ingin membangun keluarga hancur begitu saja.

"Tidak usah cemas, son. Kau bisa menitipkan anakmu pada kami. Kau bisa fokus bekerja dan mencari ibunya" Ujar Adiyaksa.

Arya mengangguk dengan setuju. Bantuan dari orangtuanya untuk mengasuh Raka sepertinya adalah ide yang sangat bagus.

"Boleh kulihat dia lagi hmm?" Adiyaksa sudah berdiri ingin cepat-cepat melihat wajah cucunya lagi.

"Tidak"

"Ayolah, son"

"Nanti ayah membangunkannya" Tolak Arya.

"Cih, posesif sekali"

Adiyaksa duduk kembali dan menghabiskan tehnya.

"Kalau begitu, aku akan kembali lagi besok bersama ibumu. Anak itu juga pasti akan tiba-tiba memukulku kalau aku melihatnya sekarang" Adiyaksa menyadari bahwa dirinya sudah diidentifikasi sebagai sosok yang menjahati Arya oleh Raka.

Adiyaksa kemudian berpamit untuk pulang.

...

Tbc

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang