Kenyataan

16.7K 1.5K 9
                                    

...

Arya kembali memeriksa dokumen tersebut, lantas ia bolak-balikan kertas-kertas itu, mencoba mencari secercah harapan kalau apa yang dibacanya bukan kenyataan.

99,98% identik.

Bagaimana bisa Arya mampu menerima kenyataan bahwa ia benar-benar memiliki anak. Walaupun sudah empat kali tes DNA di rumah sakit yang berbeda, hasil yang ditunjukan tetap sama. Arya mengusap wajah dengan telapak tangan berhenti di dagunya yang berambut tipis. Matanya menerawang keluar jendela mobilnya, memperhatikan jalanan dengan tatapan yang kesal.

Arya melirik bocah yang sedang berdiri di jok dengan lututnya menghadap jendela. Ia memainan boneka beruang kumal itu sambil berbicara seolah sedang mengobrol.

"Kuma lihat! Rumahnya kotak-kotak seperi lego!" Raka menunjuk gedung-gedung yang dilewatinya.

Apakah bocah itu berdelusi? Bagaimana bisa mengajak bicara boneka kumal itu. Tentunya Arya berpikir begitu hiperbola, berimajinasi adalah kata yang tepat.

"Papa, lihat ada kucing! Kucing lucu!" Raka berseru heboh, ketika dirinya melihat seekor anak kucing. Mobil mereka berhenti karena lampu lalu lintas yang merah.

"..." Arya tidak menjawabnya.

Arya tak habis pikir, bagaimana mungkin ia harus menghabiskan waktunya bersama dengan bocah ingusan ini selama hidupnya. Pikirannya sedang merancang bagaimana agar anak ini menghilang dari kehidupannya.

"Meong, meong" Raka memanggil kucing  yang sedang sibuk menjilati badannya dipinggiran jalan, bersikap cuek pada Raka yang tengah berbinar memanggil-manggilnya dari dalam mobil.

Arya berpikir untuk menurunkan anaknya dari mobil dan meninggalkannya, namun pikiran itu segera ditepisnya. Terlalu pengecut.

Kemudian pikirannya melayang pada tempat berkumpulnya anak-anak yang tidak punya orang tua. Panti asuhan. Tapi bagaimana mungkin dia meninggalkannya di panti asuhan sedangkan secara biologis ia adalah ayahnya.

Dan seperti ada bola lampu yang tiba-tiba terang didalam pikirannya. Kenapa ia tidak mencari ibunya saja lalu kemudian menyuruh ibunya merawatnya dan Arya bisa memberikan mereka uang untuk biaya perawatan atau apalah itu.

"Raka" Arya memanggil bocah itu dengan suara baritonenya.

"Meng... Meng.." Raka masih fokus pada kucing itu.

"Raka!" Suara Arya meninggi, hingga sopir di depannya terlonjak dan segera menengok ke belakang.

Raka yang sadar merasa terpanggil dan menoleh pada Arya.

"Ya, Papa?"

"Kau tahu dimana ibumu? Siapa nama ibumu?" Arya perlu nama. Hingga ia bisa memerintahkan anak buahnya untuk melacaknya.

"Ibu?" Raka memiringkan kepalanya, matanya mengerjap-ngerjap. Mobil sudah melaju kembali.

"Iya, ibumu siapa namanya?" Arya bertanya kembali.

Raka hanya diam dengan pandangan yang bingung, mungkin tak tahu apa itu ibu. Kemudian Arya bertanya kembali dengan mengganti kata ibu dengan mama.

"Mamamu, siapa nama mamamu?"

"Mama?" Raka menegakan kepalanya, tubuhnya menegang. Matanya bergerak-gerak gelisah dengan menengok kanan kirinya.

"Hei, siapa mamamu?" Arya terus bertanya, tidak memperdulikan gerak-gerik Raka yang sudah tidak wajar.

Bukannya menjawab, Raka menjerit keras sekali hingga membuat Arya terkejut. Raka menutup kupingnya dan membenamkan wajahnya pada lututnya.

"TIDAK MAU MAMA! TIDAK MAU MAMA!!"

Raka berteriak-teriak histeris, sampai sang sopir menepikan kendaraannya.

Arya benar-benar tidak tidak tahu apa yang harus dia lakukan, melihat buntalan itu tiba-tiba menjerit dan menangis keras.

"Hei, aku hanya bertanya nama mama mu"

"TIDAAAK. TIDAK MAU MAMAA. TIDAK MAU MAMAA" Raka menggeleng-gelengkan kepalanya, dahinya sesekali terkantuk pada lututnya sendiri yang ia lipat.

Raka menutup kupingnya, makin menangis menjadi-jadi.

Tanpa ba-bi-bu, Arya meraih bocah itu kedalam pangkuannya, memeluk dan mengelus punggungnya lembut.

Arya pikir, manufer yang tempo hari dilakukan oleh Pak Halim akan menghentikan tangisan anak itu.

Raka masih menangis, air matanya membasahi jas Arya yang menempel rapi di dadanya.

"Tenanglah Papa disini" Arya mengusap punggung anak kecil itu, kemudian tangannya beralih mengusap rambut lembut Raka. Arya tak menyadari kalau ia memanggil dirinya Papa.

Arya menengok wajah mungil yang terbenam di dadanya, menyingkapkan poni rambut mangkoknya, dan mengelus pipinya.

"Aku tidak akan bertanya lagi, maaf" Gumamnya.

Entah kenapa ia menjadi merasa bersalah telah membuat bocah dipangkuannya itu menangis histeris.

"Pak, apakah kita perlu melanjutkan perjalanan?" Tanya supir, setelah isakan Raka perlahan berhenti.

Arya menganggukan kepalanya.

Tidak hanya kenyataan bocah itu adalah anak kandungnya yang membuat Arya seperti akan kehilangan kehidupannya, namun kenyataan di depannya seolah menamparnya dua kali. Arya menyadari ada yang tidak beres dengan bocah buntelannya.

...

Tbc

PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang