"Maafkan Mas, Sinta," ucapku lirih dengan harapan dia mau memaafkan aku. Kini aku yang tidak berani menatap matanya yang sendu."Kenapa minta maaf, Mas?" tanyanya dengan suara yang terdengar tegar. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya.
"Maaf untuk segalanya," ucapku lagi dengan menaikan kepala, ikut menatap langit yang biru. Tadinya aku berfikir sinar matahari akan mengenai mata jika menatap langit. Ternyata tidak. Ada bayangan pohon yang menutupi sinarnya. Sehingga dari bangku taman ini kita bisa menatap langit yang biru tanpa mata yang terkena sinar matahari.
"Bukankah aku sudah melarang Mas untuk tidak menerima perjodohan itu. Tapi Mas tetap saja melakukannya," ucapnya santai tapi terasa berat. Terdengar ia menghela nafas panjang.
"Mas tidak punya pilihan," jawabku apa adanya.
Karena jujur saja, aku juga menginginkan seorang anak. Setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan keturunan. Begitupun aku dan juga keluargaku.
"Jika aku meminta Mas untuk menceraikan Janah, apa Mas akan menuruti permintaanku?" tanyanya yang sontak membuatku dan Janah membulatkan mata.
"Itu tidak mungkin, Mba. Aku juga istrinya Mas Fahmi. Aku juga punya hak disini Mbak," ucap Janah emosi yang tiba-tiba nimbrung diantara obrolan kami.
Tanpa menjawab Sinta kembali menengadahkan kepalanya keatas dan matanya kembali memperlihatkan tatapan yang kosong.
"Tahan emosimu Janah. Walau bagaimanapun Sinta adalah Kakak madumu," ucapku selembut mungkin agar dia menyakiti perasaannya.
"Tapi Mas, pertanyaan Mba Sinta sudah keterlaluan," protes Janah.
"Cukup. Biarkan aku sendiri disini," desis Sinta yang sepertinya merasa terganggu.
"Mas mohon Janah, tinggalkan kami. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan kakak madumu,” pintaku pada Janah.
Mendengar permintaanku, bibir Janah maju tiga senti. Aku juga kaget, karena Janah yang lemah lembut menjadi seperti ini.
Berbeda sekali dengan Sinta. Dia tidak pernah bersikap seperti ini padaku.
Dengan berat hati, Janah berjalan menjauh dari kami.
”Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan, selagi hanya ada kita berdua," ucapku mengawali pembicaraan, memecah kesunyian diantara kita.
"Tidak ada yang ingin aku tanyakan," ucapnya tanpa melihatku lagi.
"Tatap mata Mas, jika kamu memang merasa tidak ada masalah!" perintahku padanya dan membalikan puncaknya agar menghadap ke arahku.
Tubuhnya menghadapku, tetapi matanya tetap menatap kesamping. Seolah tidak ingin menatapku.
”Tolong kamu jangan seperti ini, Sinta. Hormati Mas, suamimu," ucapku sedikit emosi.
Bagaimana tidak, semenjak aku melakukan ijab qobul keduaku, Sinta tidak pernah menatapku. Jika matanya mengarah padaku, tapi tatapannya kosong. Seperti sedang memikirkan hal lain.
”Hormat sama Mas?” tanyanya dengan tatapan kosong seperti biasa.
"Apa aku harus menghormati suami yang tidak bisa menghormati istrinya?" lirihnya pelan, tapi telingaku mendengar dengan sangat jelas.
Ada rasa ngilu dalam hati ketika mendengarnya, tapi apa dayaku. Hatiku menginginkan yang lain.
"Mas mohon, dengarkan Mas. Tatap mata Mas," pintaku lagi dengan memohon, berharap dia mau melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyesal Usai Talak || SUDAH TERBIT
RomanceSinta, seorang istri dari pemilik ponpes terkenal tiba-tiba di antarkan kerumah kedua orang tuanya oleh suami dan istri barunya. "Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku, aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," tegas Kang Fahmi menalak S...