Aku terduduk lesu usai mendengar percakapan mereka.
"Ini semua adalah jalan kehidupan yang harus Antum lalui," ucap ustadz Rahman.
"Saya sangat menyayangkan sikapku selama ini kepada Sinta. Kenapa ada orang yang begitu bodoh sepertiku. Aku harus membuka surat itu, Tadz."
"Harus. Bacalah surat itu perlahan. Itu adalah isi hati dari Sinta. Semoga kedepannya bisa menjadi pelajaran untuk Antum."
"Saya izin ke aula lagi. Siapa tahu Abah masih menunggu di sana," pamitku dan ustadz Rahman hanya mengangguk.
"Bacalah surat itu secepatnya. Siapa tahu ada informasi di dalamnya yang di tinggalkan Sinta," pesannya dan kini aku yang mengangguk.
Apa kira-kira yang ditulis oleh Sinta? Apa aku akan sanggup membacanya?
Sesampainya di aula, aku tidak melihat orang lain selain Abah dan Umi.
"Yang lain kemana, Bah?" tanyaku heran.
"Semuanya sudah Abah minta untuk pergi dan berkumpul lagi besok, setelah sholat subuh. Hanya saja Abah merasa ada yang aneh. Kenapa ustadz Hanafi memaksa Abah agar kamu mau membeberkan surat itu," ucap Abah pelan dan terdengar menghembuskan nafas panjang.
"Karena keluarga Janah tidak sebaik yang kita duga, Bah," ucapku jujur.
"Jangan bicara mengada-ngada. Jangan karena Janah hadir diantara kamu dan Sinta membuatnya menjadi tempat pelampiasan," ucap Abah sedikit emosi.
"Tapi itu benar, Bah," lirihku, lalu mengeluarkan sebuah surat yang menyatakan bahwa aku mandul kepada Abah dan Umi. Mereka membaca surat itu dalam diam dan menatapnya tajam.
"Kita telah berdosa besar," lirih Abah penuh dengan penyesalan.
"Sebenarnya Umi sudah tahu. Hanya saja Abah tetap bersikukuh, jadi tidak ada pilihan untuk Umi bicara. Semenjak kembali dekat dengan ustadz Hanafi, Abah seperti telah berubah menjadi orang yang berbeda,” lirih Umi dengan mata yang berkaca-kaca.
Benar, Umi juga mempunyai pemikiran yang sama denganku. Tapi semuanya terlambat.
"Kita telah mendzolimi Sinta. Maafkan Abah, Mi. Akhir-akhir ini Abah jarang sekali mau mendengarkan Umi."
"Umi juga minta maaf, Bah. Fahmi, maafkan Umi yang sudah diam saja melihat Sinta di permalukan,” bisik Umi.
Akhirnya kita bertiga berpelukan dalam penyesalan.
"Sinta wanita yang shalihah, kita telah membuang berlian yang sangat langka," ucap Abah.
"Abah sudah menyakiti hati dan perasaannya. Bahkan perasaan Pak Adam," ucapnya lagi.
"Mungkin ini sudah jalannya, Bah," ucapku mencoba untuk membuat Abah tidak menyalahi dirinya sendiri.
Padahal aku sendiri sama. Aku tidak berhenti merutuki diri yang telah menyia-nyiakan bidadari dunia seperti Sinta. Bahkan dia selalu menerima apapun yang di tuduhkan padanya.
"Masalah ini jangan sampai menyebar keluar, Bah. Terutama keluarga Janah," pintaku pada mereka.
"Jadi yang sedang dikandung Janah anak siapa?" tanya Umi yang kini air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Kini keluargaku berada dalam kemalangan yang besar.
Abah tidak henti-hentinya melafadzkan dzikir dan istighfar kepada Allah atas segala dosa yang telah kita lakukan.
”Ada satu surat yang Sinta tinggalkan yang masih Fahmi simpan. Bisa jadi ada jawaban yang kita inginkan yang ditulis oleh Sinta," ucapku sambil menghapus air mata Umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyesal Usai Talak || SUDAH TERBIT
RomanceSinta, seorang istri dari pemilik ponpes terkenal tiba-tiba di antarkan kerumah kedua orang tuanya oleh suami dan istri barunya. "Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku, aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," tegas Kang Fahmi menalak S...