"Saya sangat menyayangkan, kenapa tadi Antum menalak Sinta langsung talak tiga," lirih ustadz Rahman dan terdengar menghela nafas berat.
"Padahal Antum belum tahu siapa yang salah dan kebenarannya seperti apa," lirihnya lagi.
”Perkataan mereka telah memenuhi pikiran Saya, Tadz," ucapku menyesal.
”Apa Antum percaya tentang Sinta dengan pemuda itu telah melakukan hal yang dituduhkan?” tanyanya.
”Awalnya Saya tidak percaya. Tapi Sinta sendiri yang mengaku telah melakukannya."
"Antum percaya begitu saja?" tanyanya menyelidik.
”Saya sudah bertanya beberapa kali, tapi dia tetap mengaku telah melakukannya.”
”Iya, tahu. Tapi kenapa Antum percaya begitu saja?" tanya ustadz Rahman kecewa.
Aku tidak mampu untuk menjawab. Air mata kembali ingin turun, tapi segera aku lap dengan memakai lengan baju.
Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa dengan bodohnya aku percaya begitu saja apa yang orang-orang tuduhkan tentang Sinta. Padahal aku sama sekali tidak melihat kejadiannya.
"Karena Saya terlalu bodoh, Tadz. Semudah itu Saya mempercayai Sinta bisa melakukan penghianatan ini. Apa waktu bisa diputar kembali?"
"Itu mustahil. Mungkin ini kifarah bagi Antum atas segala kedzaliman yang telah dilakukan kepada Sinta," ucapnya tegas.
Ya, benar. Mungkin ini kifarah dari Allah untukku. Terlalu banyak dan dalam aku menyakiti Sinta.
"Iya, Tadz. Mungkin jalannya harus seperti ini," lirihku lagi.
"Saran Saya, Antum membaca suratnya dikala waktu sendiri. Jangan ada siapapun, apalagi salah satu keluarga Janah, mereka lebih licik dari yang kita duga," ucapnya memperingatkan aku.
Sebenarnya banyak kecurigaanku pada Janah dan ustadz Hanafi. Tapi aku mengubur dalam semuanya. Karena kupikir mungkin itu hanya penilaianku saja. Ternyata aku salah. Begitu bodohnya aku malah melepaskan Sinta.
***
"Mas, Mas!" teriak Janah dari luar.
Kita berdua seketika merapikan kamar Sinta seperti semua, agar tidak terlihat berantakan.
Aku juga melap air mata yang tersisa.
"Ingat, bersikaplah seperti biasa. Jangan memperlihatkan kecurigaan sedikit pun," bisik ustadz Rahman dan aku hanya mengangguk.
"Mas, Mas," teriaknya lagi.
Aku langsung berlari menghampirinya, "kenapa?"
"A—bi, Mas, Abi," jawabnya terbata-bata.
"Iya Abi kenapa?" tanyaku penasaran maksud dari perkataannya.
"Tenanglah, Janah. Sampaikan pelan-pelan," ucap ustadz Rahman.
"Abi jatuh dari tangga. Ustadz Rahman, tolong bantu Abi Saya," jelasnya dan meminta bantuan ustadz Rahman.
'Apa-apaan Janah ini, ustadz Rahman memang mengetahui medis dan sering memeriksa orang sakit. Tapi tidak yang sakit keras seperti ini.'
"Kita bawa saja Abu ke rumah sakit besar," saranku dan ustadz Rahman mengangguk menyetujui.
"Tidak, Mas. Abi tidak mau dibawa ke rumah sakit, katanya takut di amputasi," ucap Janah yang membuatku dan ustadz Rahman melongo.
Apakah begitu parah?
Bukankah di sini tidak ada tangga yang lebih dari 10 langkah. Walaupun jatuh tidak akan terlalu parah. Ternyata yang dikatakan Ustadz Rahman benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyesal Usai Talak || SUDAH TERBIT
RomanceSinta, seorang istri dari pemilik ponpes terkenal tiba-tiba di antarkan kerumah kedua orang tuanya oleh suami dan istri barunya. "Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku, aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," tegas Kang Fahmi menalak S...