"Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu."Tidak ada," jawabku singkat.
"Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik.
”Sinta juga istri, Mas. Jadi wajar kalau Mas marah mendengar dia jalan dengan lelaki lain," ungkapku.
”Jika benar aku hamil, apa Mas akan menceraikan Mbak Sinta?"
"untuk apa, Mas tidak akan pernah menceraikannya!"
"Tapi untuk apa Mas mempertahankan Mbak Sinta? Dia itu hanyalah wanita mandul," lirih Janah.
Aku membenarkan, tapi tetap saja hatiku memilih tidak menjawab. Ada yang sakit, tapi bukan karena rindu.
Hatiku seakan berat mendengar kata cerai. Tapi apakah keadaan akan memaksakan hal itu terjadi padaku?
"Inginnya Mas, tidak ada istri yang Mas ceraikan. Pernikahan itu sakral. Apalagi Sinta tidak bisa mengandung, lelaki mana yang akan menikahinya?" lirihku.
"Ayahnya Mbak Sinta itu sangat kaya raya, Mas. Jika Pak Adam bisa memaksa Mas untuk menikahinya, berarti dia juga bisa memaksa orang lain,” ucap Janah yang membuatku terlonjak kaget.
Bagaimana jika itu terjadi?
Apa hubunganku dengan Sinta hanya sampai disitu saja? Apa hanya hubungan kami hanya bisa bertahan sebentar? Ini bukan pernikahan yang aku impikan.
"Sudahlah, Janah. Lebih baik kita berdoa yang terbaik saja."
"Mas, jangan panggil namaku. Mas bisa panggil 'Dek' seperti dulu," bujuknya memelas.
"Maaf, Janah. Jika Mas panggil Dek, kalian akan menengok bersama. Sebaiknya Mas panggil nama dulu untuk sementara, demi kenyamanan juga."
"Tapi Mas, aku mohon, panggil aku 'Dek' selama kita disini,"
"Baiklah, sudah. Mari kita makan,"
***
Pikiranku tidak bisa fokus setelah mendengar perkataan bibi Ratih tentang Sinta kala itu. Waktu seminggu telah berlalu, tetapi seperti sudah setengah abad.
Setiap Malam aku menelpon Sinta, tapi tidak ada lagi canda dan tawa yang keluar dari bibirnya. Hanya kata 'oh, iya, maaf' yang dia ucapkan, tidak lebih dari itu.
"Kenapa Tadz, kok melamun disini. Bukankah harusnya berangkat ke pondok pusat sekarang?" tanya seseorang ternyata ustadz Rahman.
"Duduk, Tadz," aku mempersilahkan beliau untuk duduk di sampingku.
Sepertinya lebih baik aku menceritakan masalah ini pada beliau, ”Saya takut akan dipinta untuk menceraikan Sinta."
"Kemungkinan besar ada sebagian dari keluarga Antum yang menginginkan kalian berpisah," ucapnya dengan keadaan tenang tapi mampu membuat hatiku bergemuruh.
"Apakah antum siap, Tadz?"
"Bagaimana mungkin. Kami telah bersama selama dua tahun, membayangkannya saja membuatku malas untuk melakukan apapun."
"Saya pikir antum sudah siap, Tadz," ucapnya tenang yang membuatku mengerutkan kening.
"Darimana Antum berfikir kalau Saya sudah siap, Tadz?"
"Karena dengan mudahnya Antum menikah lagi dengan Janah. Oleh sebab itu Saya berpikir Antum siap untuk hadirnya kata pisah dengan Sinta," lirihnya pelan tapi sangat menusuk hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyesal Usai Talak || SUDAH TERBIT
RomanceSinta, seorang istri dari pemilik ponpes terkenal tiba-tiba di antarkan kerumah kedua orang tuanya oleh suami dan istri barunya. "Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku, aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," tegas Kang Fahmi menalak S...