Kontrak Kerja

1.1K 117 12
                                    

"Ah, gue nyerah, nggak bisa lagi kalo mau dipaksa mentolerir Bos otoriter macam dia!" seruku saat memasuki ruangan dan melempar tumpukan proposal dan laporan ke meja tengah yang ada di divisi kami.

"Ayolah Ar, kalo lo nyerah, kita-kita mesti gimana coba?" Seperti biasa Fautia mencoba merayuku dan seperti biasa pula gue kesal sendiri karena begitu mudahnya takluk pada gadis ayu di depanku ini.

"Tapi Fau—"

"Ar ... pliisss ...." Sekarang ditambah dengan gaya imutnya begini, mana bisa gue nolak sih. Ah, whatever, coba saja dulu, demi cinta.

Eh, cinta? Sejak kapan gue mengakui kalau gue mencintai Fautia atau yang biasa gue panggil Faufau ini?

"Ar! Ardi! Ardinal!" teriaknya di depan wajahku.

"Pa an sih Fau? Gue denger, nggak budek gue!" ucap gue pura-pura merajuk sambil mengusap telinga, yang ini nggak pura-pura, tapi emang peka kena teriakan Faufau barusan.

"Lagian lo ngelamun aja! Ya Ar ... ya! Please, jangan resign-lah, masa lo tega ninggalin gue yang imut ini," ucapnya masih merayu mode on, kali ini ditambah acara kedip-kedip matanya.

"Ya ya ya, gue nggak resign! Puas, lo? Lagian kontrak gue masih lama due date-nya. Kalo maksa resign mesti bayar biaya pinalty gue, dan itu malesin banget sih."

Faufau terkikik mendengar ucapan gue barusan. "Sukurin! Berarti takdir lo emang kudu bantuin divisi ini keluar dari masa-masa suramnya."

"Bantuin divisi ini atau bantuin lo pribadi nih?"

"Ish, kan sambil menyelam minum susu! Wek!" Menggemaskan sekali pas dia meledek sambil melet-melet gitu.

"Eh, Fau! Tapi ini last chance ya, kalo proposal gue ditolak lagi. Gue give up, a.k.a nyerah!" tegasku serius.

"Iya, gue paham kok, tapi feeling gue kali ini kita pasti berhasil, Ar. Semangat!" serunya sambil mengacungkan tinju menyemangati.

Iya deh, Fau. Demi lo, gue lepas dulu ego dan gengsi.

Sampai di hari yang ditentukan, "Lo aja yang menghadap, Fau. Siapa tau kalo lo yang presentasikan hasilnya beda," kata gue sambil menyerahkan fail pada Faufau.

"Hmm ... gitu? Ya udah deh, tunggu kabar baik dari gue ya. Bismillah ...."

"Bismillah," sahutku turut mendukungnya.

Ternyata menunggu itu benar-benar nggak enak. Gue sama sekali nggak bisa tenang ingin segera mengetahui hasilnya.

Akhirnya gue beranjak menuju ke ruang meeting, tapi baru mau nyentuh handle, pintu terbuka dari dalam dan Faufau keluar dengan wajah semringah, sepertinya kami berhasil. Sampai gue lihat si Bos otoriter muncul lalu merangkulnya.

What is this?! Kenapa mereka ketawa akrab begitu?

"Eh Ardi, kamu di sini? Nah kamu harusnya belajar dari Fautia, ide proposalnya bagus, jadi langsung saya setujui."

Apa? Idenya? Yang bikin proposal itu kan gue. T'rus kenapa juga si Faufau diam mengiyakan malah senyum-senyum nggak jelas?

Gue diam saja nggak menyahut sampai saat kembali ke ruangan Faufau akhirnya menjelaskan. "Sorry ya Ar, gue terpaksa iya aja pas dia menyangka itu ide gue. Soalnya gue udah lama naksir dia, Ar.

"Daaann ... ternyata perasaan gue nggak bertepuk sebelah tangan, karena tadi dia juga nyatain perasaannya yang langsung gue terima dengan senang hati.

"Jadi, selama ini ternyata dia selalu marah sama lo tu, karena dia cemburu sama lo. Mengira kita punya hubungan khusus. Ditambah lagi kita satu ruangan, 'kan? Udah aja tuh dia makin kebakaran jenggot.

"Sorry ya, Ar, tapi ntar pasti gue jelasin ke dia kok. I won't take the credit alone, karena lo yang udah pusing bikin, jadi credit itu harusnya buat lo. Tapi biar gue nikmatin bahagia ini sebentar ya.

"Ar! Ardi! Ardinal! Ngomong dong! Lo marah ya sama gue? Yah Ardi, please maafin gue ya."

What the hell, gue speechless, nggak tau mesti ngomong apa. Yang gue inginkan segera resign saat ini juga, tapi ....

Arrghhh kontrak kerja sialan!

SELESAI

A Cup of CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang