Berhubung lagi bulan suci Ramadan, emak siapkan satu cerita pendek sesuai tema. Happy reading.
***
“Udah dong, Inara. Enggak usah ditangisi lagi itu si Elzam,” nasihat Mama entah untuk ke berapa kalinya.Sementara aku masih saja menelungkup di atas spring bed dan membanjiri bantal dengan air mataku. Andai bantal itu bisa bicara, mungkin dia sudah mengeluh dan mengomel lelah menjadi tempat curahan hatiku.
“Inara juga maunya gitu, Ma. Tapi air mata ini keluar dengan sendirinya,” jawabku akhirnya.
“Kamu harusnya bersyukur, oleh Allah sudah ditunjukkan lelaki seperti apa Elzam dan orang macam apa Ruri, yang ngakunya sahabat kamu itu. Coba kalau sudah keburu lamaran, kan semakin─”
“Huwaa ... Mama, kenapa diingetin lagi.” Tangisanku pun semakin menjadi-jadi.
Beberapa hari lalu aku telah kehilangan dua orang terdekatku sekaligus. Sahabatku semenjak aku masih kuliah sampai sekarang kami sama-sama meniti karir masing-masing dan kekasihku yang sudah menjalin hubungan denganku hampir dua tahun lamanya.
Bahkan karena sempat merasa yakin, aku telah mau menerima ajakannya untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Rencana itu seharusnya hanya tinggal mempertemukan kedua pihak keluarga dan membicarakan kapan dilangsungkan acara pernikahannya.
Dan semua itu hancur berkeping-keping tatkala hari itu ....
***
“Kenapa harus di Labyrinth Cafe lagi sih, lunch-nya?” tanya Karen kolegaku di kantor. Kami baru saja pulang dari bertemu klien dan berniat sekalian makan siang sebelum kembali ke kantor.“Kenapa enggak? Di sini makanannya enak, tempatnya cozy,” balasku.
“Hilih! Palingan karena ini tempat favorit lo sama cowok lo makan bareng, kan?”
“Well, itu juga salah satunya.”
Seperti namanya, kafe ini memang didesain unik mirip sebuah labirin. Jadi pelanggannya bisa menikmati makan secara privat, tapi kalau tidak hati-hati bisa-bisa kita salah belok ke meja pelanggan lain. Labirinnya tidak permanen dan setiap kali datang selalu menemukan bentuk baru seolah bermain game, ada tantangan tersendiri. Mungkin alasan ini yang membuat aku dan Elzam, pacarku menyukai tempat ini, seru!
Melewati sebuah bilik aku mendengar suara yang tidak asing, refleks bibirku membentuk seulas senyum. Rupanya Elzam juga makan siang di sini. Aku pun menyuruh Karen untuk jalan duluan dan mencari tempat untuk kami, sementara aku mengendap-endap ingin memberi kejutan pada Elzam. Tapi, tunggu suara lawan bicaranya juga kukenal. Ruri?
Ngapain Ruri makan bareng sama Elzam? Oh, atau jangan-jangan mereka sedang merencanakan kejutan untukku, membuat acara proposal romantis seperti di konten-konten Youtube yang sering kutonton? Lagi-lagi aku pun tersenyum, sengaja mengambil tempat duduk di bilik sebelahnya yang kebetulan sedang kosong.
“Gimana bisa, Rur. Aku sudah mau ngelamar Inara ke orang tuanya, ya enggak mungkinlah aku putusin dia!”
Dheg! Apa? Putus?
“Ya terus gimana? Aku juga nggak mau nyakitin Inara, tapi kandunganku mau diapain? Ini anak kita, jangan suruh aku menggugurkan janin ini, aku nggak mau bikin dosa yang lebih besar, El!”
Serasa disambar petir aku mendengar percakapan mereka. Entah sejak kapan air mata mengalir deras. Aku pun berdiri menuju bilik mereka, masih dengan derai air mata yang tidak bisa kuhentikan.
“Inara ....”
“In─”
Mereka berdua sama-sama terkejut dengan kemunculanku, dengan tenang kucoba mengatakan, “Kalian nggak perlu khawatir soal gimana cara ngasih tahu gue, karna gue sudah dengar semuanya.”
“In─”
“Sssttt ... jangan bicara atau mencoba menjelaskan apa pun. Gue cuma mau ngembaliin ini ....” Kulepaskan cincin simbol hubunganku dengan Elzam. “Semoga kalian bahagia dengan apa yang telah kalian lakukan!”
Setelahnya aku langsung berlalu dari sana, Elzam sempat berusaha mengejarku, tapi langsung kutancap gas dan meninggalkannya di area parkiran kafe.
Astaga! Karen!
***
Untungnya, Karen waktu itu mau mengerti alasanku meninggalkannya di kafe, sampai dia terpaksa kembali ke kantor dengan taksi online.“Kamu harus bangkit, apalagi besok sudah masuk bulan suci Ramadan. Mungkin ini hikmah yang diberikan Allah untukmu, Nak. Agar kamu lebih khusyuk dalam beribadah. Tahun-tahun sebelumnya kan kamu sibuk bukber sana sini sama Ruri kalau enggak sama Elzam, sampai jarang terawih, ya, kan?”
Aku mengangguk menjawab Mama, tangisanku juga mulai berhenti. Mungkin Mama benar, ini waktunya aku lebih mendekatkan diri pada Illahi.
Di hari pertama puasa tahun ini, kuputuskan mengenakan penutup di kepalaku dan berpakaian menutupi auratku. Semoga ini langkah awal menuju fitrah-Nya. Mama pun turut bahagia dan mendoakan agar aku istiqamah dengan keputusanku ini, Insya Allah.
Beberapa hari berselang tidak terasa sudah tujuh hari kami puasa Ramadan. Aku berniat membeli takjil tidak jauh dari komplek perumahan tempatku tinggal dengan berjalan kaki. Aku butuh udara segar, supaya aku berhenti memikirkan mereka. Ternyata melupakan pengkhianatan mereka, tidak semudah yang kukira.
“Awas, Mbak!”
Deg ... deg ... deg ....
Hampir saja aku tertabrak sepeda motor yang melintas ketika hendak menyebrang sambil melamun, kalau aku tidak diselamatkan oleh ....
“Mbak, nggak pa-pa? Ada yang luka nggak?”
Subhannallah, laki-laki ini ....
Astaghfirullah, segera kutundukkan pandanganku, bukankah aku sudah berniat memperbaiki diri.
“Saya, nggak pa-pa, Mas. Makasih udah nolongin saya.”
“Iya, nggak pa-pa, bisa berdiri?” tanyanya lagi.
“Insya Allah ... aww .....” Rupanya kakiku terkilir saat Mas yang aku tidak tahu namanya ini menolongku barusan.
“Biar saya antar pulang ya ....”
Namanya Aksa, artinya jernih air mukanya, sesuai sekali dengan sosoknya. Sejak pertemuan itu kami memang belum pernah bertemu lagi, tapi kami rutin berkirim pesan, hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk menelponku.
“Ukhti, aku ingin taaruf ke keluargamu, bolehkah?” Iya, dia memang sering memanggilku dengan sebutan ukhti.
“Tapi, kita baru saling kenal, Akhi.” Dan akhirnya aku pun memutuskan memanggilnya demikian.
“Untuk apa berlama-lama, kalau sudah yakin? Aku bahkan sudah melakukan Salat Istikharah untuk memohon pentunjuk-Nya. Jika kamu belum yakin pada kesungguhanku, kamu juga seharusnya melakukannya.”
“Inara belum berdamai dengan masa lalu, itu masalahnya,” lanjutku. Dia sudah tahu tentang masa lalu apa yang kumaksud.
“Kamu tidak akan pernah bisa berdamai dengan masa lalumu kalau kamu belum memaafkan mereka. Maafkan dan ikhlaskan. Dia bukan takdirmu. Lagi pula ini bulan baik, bulan penuh ampunan. Insya Allah kamu juga akan lebih tenang setelah melakukannya. Telepon mereka dan katakan kamu sudah memaafkan mereka. Setelah itu jika kamu setuju, aku akan datang ke keluargamu.”
Aku tersenyum mendengarnya, betapa sejuk mendengar nasihatnya. “Insya Allah, Akhi.”
***
Hari ini adalah penutup puasa tahun ini, besok sudah Idul Fitri. Dia sedang duduk di sana bersama waliku yaitu Papa. Mengutarakan keinginannya untuk meminangku sebagai istrinya, sesekali dia mencuri pandang padaku dan tersenyum. Membuat jantungku berdegup kencang. Betapa indah hikmah ramadan tahun ini.
SELESAI
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Coffee
Short StoryKumpulan cerita one shot. Can be anything, depends on my mood. Slice of life, romance, metropop, atau bisa jadi horor. Sesuatu yang ringan, yang bisa kalian jadikan teman ngopi. Enjoy :)