Dia Tak Pernah Tahu

454 93 4
                                    

Hari ini, hari terakhir kami di set, apa artinya setelah ini kami tidak akan bertemu lagi?

"Yey, its a wrap!" seruku sambil menepuk tangan.

Semua orang di lokasi pun turut merayakan, saling ber-high five dan tertawa bersama. Tak dapat dihindari mata ini melirik ke arahnya, yang masih memegang kamera dan saling mengucap selamat dengan crew lainnya.

Dia tak pernah tahu, aku menyukainya sejak hari pertama.

Waktu itu, aku sengaja mengendarai mobil sendiri ke lokasi syuting. Ada tawaran untuk membawakan program acara yang meliput tempat-tempat wisata di Bandung. Aku mengenal Edison orang yang akan menyutradarai program ini. "Hai ...." sapaku melambaikan tangan padanya, masih dari dalam mobil sport beratap terbuka yang bahkan belum betul-betul berhenti.

"Renata ... akhirnya sampai juga," sambutnya seraya memelukku setelah aku turun dari mobil. Gestur yang biasa di antara kami sesama pekerja seni.

"Macet, nggak?" lanjutnya bertanya, dan kami pun berbasa-basi singkat, dia menjelaskan secara umum gambaran mengenai acara yang akan kupandu.

"Aga!" panggil Edison di sela obrolan, pada seseorang yang melintas tak jauh dari tempat kami berdiri. Seseorang bernama Aga itu pun berjalan ke arah kami. "Kenalin dia cameraman kita nanti. Ini Renata, host acara ini."

Kuturunkan sedikit sunglasses dari hidung dan menatapnya. Wajahnya sangat serius, alisnya bertaut menatapku dengan pandangan penasaran. Mungkin dia bertanya-tanya dalam hatinya mengenai kemampuanku pada saat membawakan acara. Namun, sungguh ketampanannya memang sulit diabaikan.

"Renata ...." ucapku mengulurkan tangan duluan padanya diiringi senyum yang tulus. Kali ini sunglasses pun sudah kutanggalkan sepenuhnya.

Dapat kulihat keraguannya sebelum akhirnya dia menjabat tanganku dan menyebutkan namanya. "Aga."

Setelahnya, syuting hari pertama langsung dimulai. Lokasinya di sebuah perkebunan, tempat terbuka. Di tengah-tengah wawancaraku dengan seorang narasumber, hujan tiba-tiba mengguyur deras. Aku pun lari ke tenda terdekat, sementara para crew sibuk menyelamatkan property dari guyuran air hujan.

Dering ponsel mengejutkanku, tak ada orang lain di tenda ini selain aku. Rupanya suaranya berasal dari ponsel tak bertuan yang tergeletak di atas sebuah kotak property.

Perasaanku ragu-ragu, antara mau mengangkatnya atau mengabaikannya. Tanganku pun mulai terulur, tapi sesaat sebelum ponsel itu berpindah ke tanganku ....

"Itu punya gue ...." Suara seseorang dari belakang mengejutkanku. Aga.

Aku pun tersenyum meraih dan menyerahkan ponsel itu padanya. Setelah itu hening kembali menyelimuti, hanya rinai hujan yang terdengar dan belum menampakkan tanda-tanda akan segera berhenti.

"Ini ...." Tiba-tiba dia menyodorkan kemeja yang sebelumnya dia pakai untuk melapisi T-shirtnya. Mungkin tadi dia melihat saat aku menggosok-gosok lengan karena kedinginan. Aku pun tersenyum menerima kebaikannya, bahkan tanpa berniat jaim aku pun sengaja sedikit merapatkan jarak di antara kami. Bandung dingin apalagi kalau sedang hujan.

Dia tak pernah tahu, setiap kali aku tersenyum, sebenarnya aku tersenyum untuk seseorang yang berada di balik kamera.

Eksplorasi dari satu tempat ke tempat lain di Bandung ini menyenangkan. Setiap kali adeganku harus diambil secara close up, rasanya deg-degan. Akan tetapi, aku tak mau terlihat canggung. Justru aku memanfaatkannya untuk berkomunikasi lewat mata dan senyumanku. Dengannya, pria pembawa kamera di pundaknya.

Dia tak tahu kadang aku menggodanya dengan beradegan lebih panjang dan menatap penuh arti ke kamera. Pasti dia mengira aku melakukannya untuk pemirsa yang akan menonton acara ini saat waktunya ditayangkan, nanti.

Dia tak pernah tahu, kadang aku hanya ingin lebih dekat dengannya.

Satu ketika aku sengaja tiba-tiba duduk di sebelahnya yang sedang asik mengutak-atik ponselnya. "Kopi?" tawarku menyodorkan segelas kopi dalam kemasan cangkir kertas sekali buang padanya.

Dia tampak terkejut, tapi tetap menerima kopi itu. Lagi-lagi kami hanya diam, duduk berdampingan menyesap kopi kami masing-masing.

Pada kesempatan lain, saat aku sudah berada di dalam mobil yang akan mengangkut kami ke set berikutnya, sementara dia masih berada di bawah bicara dengan crew lain.

Mata kami sempat bersirobok. Aku pun tersenyum padanya, dan menggeser dudukku. Menyisakan tempat duduk untuknya. Syukurlah, dia mengerti maksudku karena dia langsung berjalan menuju ke mobil. Sayangnya, tepat sebelum dia masuk, penata riasku mendahuluinya dan duduk di sampingku. Sementara dia hanya tersenyum maklum, lalu duduk di bangku depan.

Hari ini, hari terakhir kami di set. Semua yang dia tak pernah tahu, haruskah kuberitahukan padanya?

Kulihat dia mengabadikan momen-momen terakhir lokasi syuting dengan kamera ponselnya. Sekali lagi kucoba mendekati dia. "Ayo foto bareng!"

Dia menoleh terkejut memandangku yang sudah menempel dan berpose di sampingnya. Seperti biasa, dia tersenyum, lalu mengaktifkan mode kamera depan ponselnya.

"Ikutan ...."

"Ikut ...."

Teriak para crew lainnya tiba-tiba datang menyerbu kami bersamaan. Gagal lagi, rencana berfoto berdua dengannya. Akhirnya dia memasang kameranya pada tripod dan kami pun membuat kenangan foto bersama, lengkap dengan semua crew. Tak apa, aku tetap bahagia.

Sisa beberapa saat lagi, waktu kebersamaan kami. Sekarang atau tidak sama sekali.

Pelan aku melangkah mendekatinya yang sedang membereskan peralatan kameranya. Tak pernah segugup ini aku sebelumnya. Atau tak pernah pula aku menyatakan duluan perasaanku pada lawan jenis. Namun, jika tidak kuberanikan diri bertanya, belum tentu kami akan bertemu lagi.

"Adakah seseorang yang kamu sukai?" tanyaku tepat saat aku di depannya yang saat itu masih berjongkok, menunduk dan tak menyadari keberadaanku.

Pelan, dia pun mengangkat wajahnya. Ekspresi keterkejutan adalah yang pertama kutangkap dari matanya.

"Ada nggak?!"

Kali ini dia berdiri pelan, mungkin masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang didengarnya, tapi aku serius, aku harus mengetahui jawabannya.

Aku menatap bingung saat bukannya menjawab, dia malah menyodorkan ponselnya padaku.

"Orang yang kusuka ada di sini," ucapnya.

Aku bingung dengan maksud perkataannya. Lalu, dia memutar kamera ponsel dan seketika ponsel menyala dengan mode kamera depan menghadapku.

Klik!

Aku terkejut saat kamera ponsel itu menangkap gambarku dan perlahan dia menggeser dari punggung ponsel yang kupegang, dan foto-foto di galeri itu menampakkan beberapa foto lain yang semua obyeknya aku dan diambil secara diam-diam olehnya. Aku terlihat sangat cantik di setiap gambar yang diambil olehnya. Kami pun saling bertatapan dan tertawa bersama.

Hari ini, hari terakhir kami di set, tapi hari ini adalah hari pertama kami bersama sebagai pasangan.

A Cup of CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang