"Jadi gimana? Bisa naklukin si Permafrost?"
"Permafrost?"
Toni mengedikkan alis dan matanya memberi kode ke arah di mana ruangan Bu Alexa berada. "Lo, tau permafrost, nggak?" tanyanya lagi. Kali ini gue cuma menggeleng.
Seminggu bergabung di kantor ini tuh, aslinya males nanggepin hobi staf cowok pas lagi ngumpul bareng. Kalau nggak saling bertukar racun nikotin, ya gini ini, ghibah.
"Ck! Payah lo! Intinya gini, kita lagi taruhan. Barang siapa yang bisa mencairkan hati dari Permafrost, yang kalah akan menanggung biaya pernikahan mereka," terang Toni, yang disambut dengan candaan yang lainnya.
"Tunggu! Permafrost ini, Bu Alexa?" Mereka kompak mengangguk, membenarkan. "Kenapa dijulukin gitu?"
"Gue yang nemuin istilah ini di internet ...," ganti Aldi yang bicara dan membuka ceritanya dengan bangga, "Permafrost ... terdengar indah, bukan?" lanjutnya lagi.
"Artinya ibun abadi, yaitu lapisan tanah yang membeku selama bertahun-tahun lamanya. Sama kan ama Bu Alexa, yang jomlo bertahun-tahun juga. Padahal cantik, sayang hatinya telah membeku seperti Permafrost."
Gue menggeleng nggak percaya dengan apa yang barusan gue dengar. Seketika gue berjalan ke ruangan si Permafrost ini. "Bu Alexa, bisa keluar sebentar?"
Bisa gue lihat wajah panik teman-teman, mungkin mereka kira gue bakal membocorkan acara taruhan kami. "Mereka bilang, mereka akan membiayai pernikahan kita."
"Hah? Kenapa?"
Gue cuma tersenyum menjawab kebingungan si Permafrost ini. "Oh iya, guys, gue lupa bilang. Kenalin, gue tunangannya Alexa," ucap gue sambil mengulurkan tangan ke teman-teman yang wajahnya kompak bingung dan memucat.
***
Cerita di atas termasuk ke golongan fiksi mini yang jumlah katanya tidak lebih dari 250 kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Coffee
Historia CortaKumpulan cerita one shot. Can be anything, depends on my mood. Slice of life, romance, metropop, atau bisa jadi horor. Sesuatu yang ringan, yang bisa kalian jadikan teman ngopi. Enjoy :)