Chapter 01

103 19 31
                                    

Segigih apa kita belajar, sampai terpenat-penat sekali pun. Jika Tuhan mengatakan tidak berhasil, tetap tidak.

——————

SATU bulan penuh, aku berhasil menyelesaikan semua yang namanya ujian akhir sekolah. Hari ini, sebelum besok libur dan naik jenjang kelas yang lebih serius, aku harus melaksanakan pembagian rapor yang diwakilkan wali murid terlebih dahulu. Saat ini aku duduk dibangku panjang depan jendela kelas percis. Kepalaku sedari tadi pening karena orang yang aku cari tidak kunjung menampakkan dirinya.

Tangan dan kakiku mulai mengeluarkan keringat dingin, bahkan mungkin wajahku juga pucat. Aku sudah biasa dengan kondisi hal semacam ini. Kebanyakan terjadi di saat aku pusing, takut, dan tegang bersamaan. Lima menit lagi, acara akan dimulai, tapi yang aku tunggu tidak datang-datang. Ini yang membuat aku tegang tidak karuan. Dalam hati, aku terus merapalkan doa agar ibun, panggilan ibu segera datang.

Salah satu temanku duduk di sampingku. Ia menatapku, "Ibumu belum datang In?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil ikut menatapnya. "Belum Di," jawabku.

"Sama, Ibuku juga belum datang," kata Diana.

Lega hati aku mendengarnya. Aku jadi memiliki teman yang senasib. Namun, hal itu mendadak buyar kala motor beat putih biru menarik perhatian Diana.

"Itu Ibuku udah dateng, alhamdulillah," kata Diana yang di detik itu juga tanganku kembali dingin, bahkan jauh lebih dingin dari sebelumnya. Diana menghampiri ibunya, terlihat dia sedang bercengkrama manis.

Dalam hati, aku kembali merapalkan doa supaya ibun datang. Waktu hampir habis, dua menit lagi dimulai, dimana ibun sekarang? Apa beliau lupa?

Aku menghela napas berat saat melihat wali kelasku masuk ke dalam kelas. Aku mulai berdiri tidak tenang. Kugerakkan kakiku menuju sekerumpulan teman-temanku yang berdiri berbaris saling berhadapan di tepi pintu.

"Itu Ibu kamu, In!" seru salah satu temanku. Kontan aku langsung menoleh, benar saja ibun datang. Aku buru-buru menghampirinya.

"Bun, kok belum dateng-dateng sih. Gurunya udah masuk, cepetan susul! Keburu telat, satu menit lagi dimulai!" tukasku. Ibun terlihat santai, ia memarkirkan motornya dan berjalan menuju kelas. Hatiku kembali tenang melihatnya.

Pembagian ranking dimulai. Jantungku sedari tadi berpacu cepat. Napasku juga mulai tersenggal-senggal. Bu Elina mulai mengawali acara pembukaannya. Di situ, aku terus merapalkan doa semoga aku masuk tiga besar. Semoga nilaiku bisa bertahan atau bahkan meningkat.

"Aku takut nggak dapet ranking," lirihku pelan.

Ketakutan seperti ini sangat membuat hidupku tidak bisa tenang. Bahkan, setiap kali aku mendapat undangan pembagian rapor, aku sama sekali tidak bisa tidur di malam hari.

"Inayah tuh kenapa sih, nggak dapet ranking kok heboh. Emang dia doang apa yang harus dapet ranking, kan kita juga mau. Mentang-mentang pinter," gerutu pelan Nadia kepada Diana.

Pelan, tapi cukup menyakitkan hati kata-katanya. Dia tidak tahu, apa jadinya aku di rumah saat nilaiku buruk, anjlok. Dia hanya melihatku dari sampul, tanpa tahu, bagaimana aku sebenarnya. Seterpuruk apa aku di rumah. Aku paham, setiap anak pasti ingin mendapat nilai yang sempurna, bukan cuma aku. Hanya, mereka saja yang tidak bisa memahami kondisiku.

Natasya berteriak heboh memanggil namaku. Aku yang dipanggil berpura-pura sewot padahal mood-ku benar-benar rusak saat itu. Saat itu juga, aku berpikir, tidak ada orang yang bisa memahami diriku, kecuali aku sendiri. Tidak ada yang paling mengerti aku, kecuali aku.

Rentan Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang