“Another level of broken hearth adalah menangis karena tersakiti ucapan orang tua.”
—————
BUKANKAH hidup itu seperti roda berputar? I trust it, dan semua memang telah terbukti terhadap kehidupan yang aku jalani. Dulu, when I was thirteen years under dan semuanya tentang aku yang lemah, kini aku lebih diperkuatkan dan semua itu karena usaha aku untuk mengikis kelemahan itu. Sekali lagi, tidak akan ada yang berubah di dalam hidup kita, kecuali kita yang mau merubahnya. See, sekarang terbukti di-aku.
Aku, Diana, dan Natasya tengah berduduk-ria di belakang gedung kelas VII. Terdapat satu bangku panjang dengan suasana tenang dan jauh dari terik matahari. Semenjak kejadian di kantin, setelah memesan makanan kami akan memakannya di sini. Rasanya malas harus mendengar cibiran tidak jelas dari kakak kelas di sana. Lebih baik di sini, istirahat dengan damai.
Kami bercerita banyak tentang masa kecil. Sebenarnya, masa kecilku tidak seasik mereka. Dulu, orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya. Aku dititipkan ke orang lain dari pagi hingga jam sepuluh malam. Saat mereka bekerja, aku memang memiliki pengganti orang tua, tapi anak mana sih yang tidak ingin bermain langsung dengan orang tua kandungnya sendiri?
Namun, masih dengan memegang prinsip yang sama, aku mengatakan sebaliknya. Aku mengatakan, dulu memang orang tuaku sibuk bekerja, tapi mereka masih dapat meluangkan waktunya untuk aku, tapi nyatanya itu semua adalah kebohongan. Terlalu sakit jika aku harus mengatakannya dengan kontras.
Benar adanya, mereka memuji orang tuaku. Sebab, di zaman sekarang ini, sulit bagi orang tua mau meluangkan waktu untuk anaknya saat sedang sibuk-sibuknya dalam dunia kerja. Aku hanya tersenyum tipis mendengar pujian dari mereka untuk orang tuaku. Mereka percaya-percaya saja kehidupanku seharmonis ini. Padahal, dalam lubuk hati kecil ini, tengah menahan rasa sakit yang mendalam.
Syukurnya, ibun kini tidak lagi bekerja. Ia sudah menikmati waktunya di rumah sebagai ibu rumah tangga dan membiarkan baba yang mencari nafkah. Sudah semestinya begitu, toh?
"Kalian udah kerjain PR bahasa Inggris?" tanyaku. Aku lelah membahas topik yang mengaitkan orang tua ini.
Mereka berdua serempak mengangguk.
"Tinggal nomor enem sih, susah banget, nggak ada jawabannya deh kayaknya," kata Diana sambil menggaruk tengkuk yang tertutup hijab cokelat.
Aku mengangguk mengiyakan. "Memang, nomor enem enggak ada jawabannya," jawabku. Diana dan Natasya menghela napas lega bersamaan. "Semalem sempet nanya ke guru bahasa Inggrisnya sih," lanjutku. Mereka berdua mengangguk.
Kami lepas berbagi cerita saat itu sampai bell masuk setelah istirahat dibunyikan. Kebersamaan semenjak masih TK membuat kami menjadi lebih dekat di SMP saat ini. Semasa SD dulu, kami sibuk dengan dunia kami masing-masing. Mungkin, kami bertiga satu frekuensi saat ini, jadi mudah terbawa oleh suasana satu sama lain.
Dengan seperti ini bukan menyeolahkan bahwa kita tidak berteman dengan teman-teman yang lain. Kami berteman, tapi tidak sedekat kami. Bagi kami, semua orang bisa dijadikan teman, tapi tidak untuk sahabat.
Bagiku untuk saat ini, aku ingin dikenal banyak orang sebagai sosok kuat. Berteman dengan siapa saja, dan harus pilih-pilih soal menjalin pertemanan di atasnya lagi, sahabat. Saat semua orang memiliki definisi bahwa sahabat adalah tempat segalanya, tapi lagi-lagi keyakinanku berbeda. Sahabat itu seperti teman, tidak ada bedanya. Aku tidak ingin mengambil resiko tentang semua ini. Aku terlalu takut, beberapa dari mereka bisa saja hanya berpura-pura sedia menjadi tempat bercerita, ujung-ujungnya juga ia sendiri yang menyebar luaskan cerita tersebut. Aku tidak ingin mengambil resiko, itu intinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentan Kisah [END]
General Fiction[Teenfiction - Spiritual - Spesial Ramadan 2021] Aku hidup bak Rapunzel yang selalu kesepian. Terjebak dan tidak diizinkan menikmati dunia luar. Aku bukan Putri Anneliese yang memiliki Elika untuk dapat diajak bertukar posisi pada masa-masa yang sul...