“Jika ingin menyerah hanya karena ujian kehidupan, berarti secara tidak langsung ingin mati. Sebab, dalam hidup ujian tidak akan pernah berhenti.”
—————
AKHIR-akhir ini aku seperti berada difase malas dengan apa pun dan siapa pun. Ketika ada sesuatu yang menyakitkan atau ada seseorang yang menyakiti, its okay dan itu bukan lagi jadi masalah untuk aku. Lagi pula, sudah biasa juga. Aku merasa, dititik ini aku mulai jenuh.
Aku hanya ingin memasukkan asupan yang membangun untuk diriku sendiri. Tidak terlalu memikirkan apa pun dan aku memang harus berjalan menganut takdir. Entah, dibawa ke mana aku oleh takdir. Yang jelas, saat ini aku manut, aku pasrah. Biarkan kehidupan ini mengalir.
Dulu, aku merasa aku berada difase hampir gila. Mungkin sekarang pun juga. Tertawa bukan karena senang, tapi karena stress. Pikiranku masih berperang dengan isi kepalaku sendiri. Namun, makin ke sini, aku tidak ingin sesuatu yang rumit.
Perlahan, aku menyukai kesunyian. Sebab kata ‘sunyi’ inilah yang menemaniku hari-hari. Mungkin tidak kontras, tapi aku merasa kesunyian adalah bagian dalam hidupku. Bahkan ia menduduki peringkat pertama dalam hidupku. But, biasanya orang-orang yang menyukai sunyi itu berarti menyukai malam.
Tidak, semua belum pasti. Aku bukan secara kontras menyukai sunyi, tapi karena terbiasa aku menjadi nyaman. Aku juga bukan penyuka malam, bahkan saat melihat malam taburan-taburan kehancuran seolah mendatangiku. Namun, aku tidak pernah membenci keduanya. Karena semua itu anugerah.
Dalam hidup, dengan menggunakan logika dan hati untuk berpikir, aku menemukan sebuah kalimat yang menjelaskan tentang sebuah proses yang tidak gampang. Jalani saja dulu, walau masih harus melewati beberapa permasalahan saat melaluinya, percaya saja, keberhasilan itu pencapaiannya tidak mudah seperti kita berhalusinasi.
Kita harus menikmati sebuah proses, jika gagal tunjukkan gigi, tertawa. Lalu mulai kembali. Karena hidup ini tidak akan pernah lelah untuk berputar, one more, everything need a time.
Semalam, masih ada konflik yang harus aku lalui bersama kedua orang tuaku. Biasa, semua tentang nilai yang dimata mereka tidak sempurna. Aku mulai terbiasa dengan semua ini, bahkan hal seperti tidak aku permasalahkan. Cukup dengarkan lalu buktikan. Sayangnya, pembuktian ini belum cukup walau ada beberapa nilai mata pelajaran yang sedikit meningkat daripada SD dulu.
Haha, aku lupa. Mereka tidak pernah memandang itu semua. Yang mereka pandang hanya satu kalimat “Peringkat III dari 32 Siswa”. Bukan total dari nilai rapor-nya.
Tidak masalah untuk saat ini, aku juga tidak memiliki harapan apa pun. Tahu sendiri, aku terlalu takut jatuh tersungkur saat semua harapan, mimpi, impian, cita-cita yang aku dambakan tiba saatnya akan zonk. Itu menyakitkan sekali.
Mungkin ada yang mengatakan. Bermimpilah setinggi mungkin, jika kamu jatuh maka kamu akan jatuh diawan-awan. Ini adalah kalimat orang bermimpi yang menyangkal. Padahal, dulu aku mendengarnya “Jangan bermimpi terlalu tinggi, jika nanti jatuh sakit”.
Aku mempercayai kalimat itu. Mengapa? Manusia itu terkadang gampang putus asa saat ekspetasinya terpatahkan. Tidak gampang untuk mereka membangunnya kembali. Menurut pandanganku, bermimpi setinggi mungkin dan jatuh diawan-awan itu arahan yang memang tidak spesifik, tapi itu bisa saja mengarah pada kata seperti “mati”. Haha, kontras sekali dan ini berguna hanya untuk orang-orang yang bisa memahaminya.
Sebab ini terlalu waw jika harus menjelaskannya secara detail. But, remember it, jangan pernah melayangkan ekspetasi yang tinggi. Sakit hati, itu susah obatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentan Kisah [END]
General Fiction[Teenfiction - Spiritual - Spesial Ramadan 2021] Aku hidup bak Rapunzel yang selalu kesepian. Terjebak dan tidak diizinkan menikmati dunia luar. Aku bukan Putri Anneliese yang memiliki Elika untuk dapat diajak bertukar posisi pada masa-masa yang sul...