Epilogue

56 10 14
                                    

DETIK-detik yang aku lalui sungguh dengan rasa syukur tiada tara. Allah menciptakan makhluk yang paling sempurna dan itu adalah manusia, kita. Untuk mendapatkan pahala serta manfaat bagi diri sendiri dan orang sekitar, mereka rela diguyur habis oleh hujan yang turun dengan derasnya. Aku benar-benar bahagia bisa berada di tengah-tengah orang hebat seperti mereka. Ya Allah, semoga ini semua bukanlah momen terakhir untuk hamba. Selalu izinkan aku melihat kecintaan hamba-Mu terhadap Engkau, Ya Allah.

Sampai di penghujung acara, orang-orang bahkan sama sekali tidak memindahkan posisinya. Mereka baru memiliki niatan berteduh saat acara sudah benar-benar selesai. Sungguh ini adalah pemandangan yang indah.

Acara selesai tepat pukul sepuluh malam. Sudah pasti aku akan dimarahi habis oleh baba atau bisa saja baba akan mengunciku di luar rumah. Entah, aku sudah berjanji dan berkata, aku akan siap menanggung semuanya. Walau itu sendiri. Kecintaanku pada jalan Allah membuatku kuat begini.

Begitu sampai di rumah, aku langsung memarkirkan motor di garasi. Dalam keadaan basah kuyup, aku membuka pintu rumah. Baru hendak membuka, baba sudah lebih dulu membukanya. Dengan raut wajah yang tidak bisa aku jelaskan bagaimana murkanya seorang ayah.

Bukan disuruh masuk dalam keadaan hujan begini, baba malah mengintroduksi terlebih dahulu. Tidak apa-apa, ini wajar karena baba juga tidak tahu jelas aku pergi. Tetap berbaik sangka, oke?

"Pake segala dateng ke majelis pulang malem-malem. Mau jadi apa kamu?" tanya baba dengan intonasi yang tegas. Aku akui memang pulang malam, tapi untuk menimba ilmu apa tidak boleh? Dokter Kayna tadi sempat bilang. “Patuhlah kepada orang tuamu jika itu untuk kebaikan, tapi kamu boleh melanggar jika itu menyesat dari yang agama ajarkan.”

Untuk patuh tidak boleh pulang malam, aku akan mengiyakan. Aku akan mencoba mencari jadwal sekitar sore hari. But, untuk dilarang pergi ke majelis, sebaiknya aku menolak. Aku bisa berbicara pelan-pelan dengan baba dan ibun.

"Mau jadi apa kamu?!!" bentak baba. Aku tersentak. Sebenarnya aku takut, tapi aku yakin Allah sedang bersamaku. Seharusnya orang tua akan senang bila anaknya mulai belajar tentang agama, tapi mungkin tidak dengan orang tuaku.

"Jangan fanatik jadi orang!" kata baba tanpa saring. Ini? Menyakitkan sekali Ya Allah. Fanatik, satu kata yang berhasil membuat aku meneteskan air mata. Mengapa baba bisa berpikir serendah itu? Menganggap bahwa orang-orang yang mendalami ilmu agama itu fanatik.

Mereka menganggap fanatik dalam beragama, tapi apakah itu karena mereka yang tidak terlalu paham tentang agama?

"Masuk!" pintah baba yang langsung aku tindaki. Sepanjang berjalan menuju kamar mandi air mataku terus menetes tidak berhenti. Ketika sudah berada di kamar mandi dan semua pintu tertutup aku menangis sambil mengguyur diriku dengan air yang cukup dingin. Tidak asing lagi untuk aku menjadikan kamar mandi sebagai tempat untuk menangis.

Proses terberat dalam masa ini adalah ketika semua harus ditentang oleh orang tua. Jika keluarga tidak mendukung, apakah lingkungan luar juga tidak akan mendukung? Aku percayakan semua ini kepada Allah. Aku yakin, everything gonna be okay.

Yang aku lakukan hanya bisa berdoa. Semoga Allah cepat-cepat memberi orang tuaku arah untuk mereka melangkahkan hidup. Aamiin Ya Allah.

—————

Alunan salawat yang dilantunkan dari beberapa santri berhasil menghantam telingaku dengan mulus meski harus melihatnya dari layar kaca televisi.

Tiga tahun berlalu. Ternyata benar, Allah mudahkan setiap proses yang aku jalani. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang sekitarku. Yang aku fokuskan saat ini hanya mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, hanya Dia yang aku miliki saat orang-orang pergi. When people left, but Allah stayed with me.

Rentan Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang