“Semuanya sudah terbukti, bahwa anganan belum tentu akan menjadi kenyataan.”
—————
SETELAH mendapat panggilan dari ibun untuk segera masuk dan berhenti menatap kuburan Canci, aku bangkit dan langsung masuk ke dalam rumah walau langkahku terasa begitu berat. Saat masuk ke dalam rumah, aku mulai mendudukkan tubuhku dikursi. Tanganku dingin saling bertaut cemas, aku tidak tahu aku cemas karena apa. Kakiku juga kesemutan. Kepalaku pusing seperti hendak ambruk begitu saja.
Tiba-tiba teriakan Mas Anang kembali menghantam ke telingaku. Membuat aku yang cemas malah semakin cemas. Aku menutup telingaku rapat-rapat bahkan sampai memukuli kepalaku supaya semuanya berhenti. Namun, apa? Aku ketahuan dan malah kena omel ibun.
Aku yakin dan aku paham, mereka semua tidak akan bisa mengerti aku, tapi aku benar-benar berharap mereka bisa mengerti aku. Aku merasa saat itu aku sedang tidak baik-baik saja. "Nih anak, efek di kepala itu besar Nay. Jangan sembarang memukuli kepala," katanya. Baba kemudian datang, seperti biasa bertanya apa yang terjadi. Ibun tidak menjawab, malah pergi dan dialihkan ke-aku tentang semua ini.
Baba mendekat ke arahku, sedangkan aku terus menutup telingaku. Mataku mulai berkaca-kaca. Teriakan Mas Anang semakin menghantamku. Kejadian meninggalnya Canci terus berputar dimemoriku.
"Nay, kenapa sih?" tanya baba. Aku tidak menyahuti apa pun. Namun, pendengaranku masih berfungsi untuk dapat menangkap semuanya.
Sepertinya baba jengkel dan ikut memarahiku. "Makanya kalau orang tua nasihatin tuh dengerin jangan tutup telinga begitu, siapa coba yang lihat nggak jengkel," katanya dengan intonasi nada tinggi. Di detik itu pun, air mataku keluar dengan deras. Aku berdiri dan lagi-lagi ke kamar hanya untuk menangisi diriku sendiri. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu apa pun. Mengapa semua seakan menekanku. Aku tersiksa, bawa aku mati saja jika seperti ini.
Rasanya begitu menyakitkan saat orang tua kita sendiri tidak mengerti apa yang sedang dialami anaknya. Hal ini malah membuatku semakin menggiring opini untuk berpikir negatif. Apa aku bukan anak kandung mereka? Kenapa mereka tidak pernah bisa memahami diriku?
Ketukan pintu rumah terdengar. Ada tamu, aku yakin. Baba meneriaki namaku menitahkan untuk membuka pintunya. Aku buru-buru menghapus air mataku dan menarik hijab instan hitam lalu memakainya. Aku keluar dari kamar, mendekat ke arah pintu dan membukanya. Seorang perempuan tersenyum ke arahku. Dia Tante Aris, adiknya baba.
"Baba sama Ibun ada nggak?" tanyanya. Aku mengangguk, lalu tanpa mengeluarkan suara aku mengisyaratkan beliau untuk masuk ke dalam rumah. Tante Aris masuk dan mengikutiku.
"Kamu kenapa Nay?" tanya Tante Aris. Sepertinya dia paham tentang kondisiku, hampir aku tersenyum bahagia ketika ada orang yang paham akan diriku, tapi itu semua tidak terjadi begitu cepat saat baba tiba-tiba menyahut.
"Biasa, kan masih anak-anak. Moody-an dia mah," katanya. Aku hanya bisa menunduk pasrah saat Tante Aris dengan tanpa ragu mempercayai semuanya. Sudahlah Ina, jangan pernah berharap tentang pemahaman orang lain terhadapmu. Semuanya juga tidak akan pernah terjadi.
Aku pernah menemukan istilah, jika kesuksesan (keberhasilan) itu berawal dari mimpi lalu berusaha untuk mewujudkannya. Namun, aku merasa, kalimat itu tidak ada benarnya karena mimpi itu berawal dari tidur yang berarti sudah jelas, semua tidak ada apa-apanya. Terlalu banyak bermimpi, toh nantinya juga akan jatuh. Seperti dibuat melayang oleh anganan lalu dihempaskan begitu saja. Sakit, bukan? Pasti dan aku yakin untuk itu.
Katakan apa pun pada diriku. Katakan bahwa aku pesimis, katakan aku tidak mau berusaha, katakan aku tidak ingin berproses, katakan saja, aku tidak peduli, benar-benar tidak peduli bahkan sangat tidak peduli. Rasanya aku sudah lelah, ingin mundur begitu saja. Namun, lagi-lagi keadaan harus membuat aku bertahan. Aku tidak tahu apa alasannya.
—————
Sudah empat hari berturut-turut, tapi aku masih ada diposisi yang sama. Aku seperti sedang terjebak dalam suatu lubang dan aku tidak bisa untuk keluar dari lubang itu walau pun sudah berusaha. Teriakan dari Mas Anang begitu menggema di telingaku. Bahkan pikiranku pun masih tentang Canci.
Aku merasa aku sudah tidak memiliki jalan untuk melangkah. Aku tidak tahu, arah mana yang aku ambil untuk ke depannya. Menutup telingaku rapat-rapat pun tidak ada gunanya. Hingga dengan pikiran rendah pun aku mengambil headset untuk menyumpal telingaku. Volume musik saat itu juga aku full seratus persenkan.
Namun apa? Semuanya masih sama, aku tidak bisa menghilangkan suara itu dari telingaku. Aku beranjak dari kasur dan mulai melempar headset ke dinding kamar sampai pecah. Aku menangis, pikiranku kembali akan kematian Canci. Aku berteriak tidak terima atas hadirnya ingatan itu yang begitu mengganggu. Baba dan ibun sedang pergi, aku jadi bisa leluasa menangis.
Aku terduduk lemas di tepi kaki ranjang. Aku menekuk kedua lututku dan meletakkan kepalaku di atasnya. "Berhenti ... berhenti ada dipikiranku!" aku terus merancau demikian dengan suara yang begitu lirih. Kuterus menegaskan pada pikiranku sendiri untuk tidak memunculkan ingatan yang begitu menggores hatiku.
Aku mengangkat kepalaku. Lalu menghapus sisa-sisa air mata. Aku mulai mencoba untuk berdiri dan melangkah menuju halaman belakang. Tidak perlu ragu lagi, aku memang melangkahkan tungkai menuju kuburan Canci. Sebelum itu aku sempat menuju laci yang berada di ruang keluarga untuk mengambil kalung gemerincing yang biasa dipakai Canci.
Saat sampai di kuburan Canci, aku mulai terduduk lemas tanpa berpikir bajuku akan kotor. Kupandangi terus kuburan itu sambil berkata aku merindukannya, bahkan sangat merindukannya. Kehilangan dirinya seperti sebuah pisau yang berhasil menggores kulitku. Darah kesakitan tumpah di mana-mana pun dengan rasa perih didada.
Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan kehilangan dirinya. Yang aku pikirkan hanya ingin melihatnya tumbuh dewasa, tapi jauh sebelum dewasa ia harus lebih dulu meninggalkan aku. Saat semua orang tidak pernah bisa mengerti aku, satu-satunya makhluk Allah yang aku jadikan sebagai tempat berbagi cerita adalah Canci, tapi lagi-lagi aku harus ditampar oleh kenyataan bahwa semua ini telah berakhir. Tidak ada lagi harapan, bahkan sebuah mimpi lagi-lagi tidak bisa aku percaya.
Lihat, semuanya terbukti bahwa anganan belum tentu akan terwujud. Dalam lembaran-lembaran hidup yang telah aku jalani, tidak ada satu pun mimpi yang berhasil aku gapai. Hal itu yang semakin membuat aku berpikir bahwa anganan, mimpi, cita-cita, dan jajarannya hanyalah delusi persekusi.
Bagaimana aku tidak pesimis, wong satu pun tidak ada yang masuk dalam gairah hidupku. Aku merasa hidupku ini hampa. Setetes kebahagiaan di ujung sana sama sekali tidak terlihat di mataku, semuanya seperti sedang menghukumku tanpa aku ketahui apa salahku sebenarnya.
—————
See you next chapter!
Puasanya lancarkan? Aku ngetiknya berkaca-kaca dong. Semoga kalian bacanya enggak yah, wkwk.
Seluruh hak cipta cerita ini dilindungi oleh undang-undang. Maka tag aku di instagram @syadeerathr jika kalian membagikan apa pun terkait cerita ini.
Never get bored in being gratefull, learning, and working.
Sidoarjo, 20 April 2021
— Shadira Hr.
Prioritaskan Al-Qur'an di atas segala bacaan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentan Kisah [END]
General Fiction[Teenfiction - Spiritual - Spesial Ramadan 2021] Aku hidup bak Rapunzel yang selalu kesepian. Terjebak dan tidak diizinkan menikmati dunia luar. Aku bukan Putri Anneliese yang memiliki Elika untuk dapat diajak bertukar posisi pada masa-masa yang sul...