Chapter 18

29 11 5
                                    

They are happy without me, tapi rasanya sulit sekali melepaskan yang datang dan membuat nyaman lalu pergi dengan perlahan.

—————

TELAH menjadi sebuah keharusan di setiap episode-nya. Aku hanya bisa menyeka air mata saat kedua orang tuaku lagi-lagi memperlihatkan wajah mereka yang kecewa. Mereka bilang aku sibuk dengan ponselku, aku sibuk dengan dunia luarku sehingga aku jarang memegang dan mempelajari materi dibuku. Padahal, kenyataannya bukan seperti itu.

Di saat-saat seperti ini, aku harus tahan banting. Terlebih, menahan air mata di depan orang tua itu sakit sekali rasanya. Dadaku sesak, rasanya ingin berlari, tapi gamparan kecewa itu masih diluapkan. Memutuskan untuk pergi pun tidak sopan katanya.

Rasanya aku tidak ingin ada sandiwara-sandiwara lagi. When I disappointed rasanya aku ingin terus terang. Namun apa, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk itu. Aku masih terus berusaha baik-baik saja padahal hati dan pikiran bertolak belakang atas dua hal itu. Rasa ingin menyerah, tapi jalanku ini masih panjang. Tidak epic rasanya jika harus meninggalkan permainan sebelum ada kalimat game over atau time out.

Pingin sekali rasanya ibun berkata, “Enggak papa nangis aja. Ibun tau kamu sakit hati, keluarin aja, jangan ditahan” tapi itu semua hanya ada dalam pikiran yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Berhenti berhalusinasi Ina! Impian seperti itu hanyalah delusi persekusi.

Sampai pada akhirnya, pikiranku ini menemukan jalannya. Kita harus pantang menyerah. Ingatkan lagi, tidak ada hal yang sia-sia. Allah akan selalu ada dan membantu kita dalam setiap sudut inci masalah. So, don't ever to think about give up.

"Pokonya Baba nggak mau tau, besok-besok harus ada peningkatan!" tegas baba lalu pergi meninggalkanku dan ibun dimeja kerjanya.

"Makanya belajar yang bener," kata ibun lalu ikut pergi menyusul baba.

Aku mendongakkan kepalaku. Please, don't cry Ina. You are strong woman, berapa kali aku harus bilang itu? Aku wanita kuat, tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa hatiku telah rentan. Hatiku telah rapuh. Dipaksa kuat dengan segala cobaan adalah sebuah pilihan yang tidak mudah. Aku mengusap wajahku kasar bersamaan dengan mengusap bendungan air mata. Lalu bangkit dan meninggalkan ruang kerja baba.

Hari-hari berlalu dengan aku yang menjalankan kehidupan seperti biasanya. Harus kuat di hadapan semua orang dan terbiasa menangis dalam hening. Kehidupanku seperti boomerang terus bolak-balik pada masa yang sama dan itu masih menyakitkan.

Bahkan semakin hari semakin menyakitkan. Pernah aku mengatakan sebelumnya, bahwa kehilangan adalah sesuatu yang menyakitkan. Terlepas dari meninggalnya Canci, ada yang lebih menyakitkan. Entah, aku merasa Diana dan Natasya perlahan berubah. Seperti kami tidak satu frekuensi kembali.

Hati berniat tidak ingin suuzan, tapi semua seolah membuat aku memantapkan pikiran itu. Banyak juga yang mengatakan, aku yang doyan makan kini kata teman-temanku, seperti Khalisa and the gang badanku terlihat lebih kurus. Oke, badan kurus itu bukan berarti sedang dalam masa diet. Namun, badan kurus yang aku alami ini karena stress.

Akhir-akhir ini aku takut sekali akan kehilangan. Sebelum-sebelum ini aku merasa bahwa Diana dan Natasya secara tidak langsung telah menjadi support system-ku. Namun, melihat keduanya yang perlahan berbeda sikap membuat aku berpikir apa aku tidak layak mendapatkan seorang teman?

Rentan Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang