Matamu Bercerita

312 167 331
                                    

"Hidup korban!"

"Jangan diam!"

"Hidup korban!"

"Jangan diam!"

Lantang suara menggema di langit Jakarta. Tidak seperti Kamis lalu, aksi Kamisan kali ini dihadiri lebih banyak orang. Sejak pukul tiga, berduyun-duyun massa memasuki arena depan Istana Negara. Mereka adalah orang-orang yang mendamba keadilan, menuntut segala pelanggaran HAM warsa silam untuk segera dituntaskan.

Sudah sejak bertahun-tahun lalu aksi ini dijalankan setiap hari Kamisnya. Sudah sejak bertahun-tahun lalu pula Jagat dengan Ibu selalu hadir dalam kegiatan ini dengan mengantongi sebuah harapan. Semua orang di sini berpakaian hitam, sebagai simbol keteguhan pula perlindungan. Nyaris semua orang membawa payung hitam bertuliskan jangan diam: tuntaskan kasus pelanggaran HAM, tuntaskan pembunuhan Cak Munir, atau kalimat-kalimat semacamnya. Tampak juga beberapa diantaranya memeluk bingkai poto korban.

"Jangan diam!"

"Lawan!"

"Jangan diam!"

"Lawan!"

Nanar, tatapnya terpaku pada gedung istana yang tersekat oleh ramai bulevar. Tangannya lasat mencengkram erat payung hitam dalam genggamannya. Sore itu sedikit mendung, sesekali gemuruh terdengar riuh beriringan dengan sorak rimbun insan yang berada di sekelilingnya.

Jagat menatap sekitaran, banyak sekali wajah-wajah asing di sana. Beberapa orang yang dikenalnya sudah tak tampakan wujud satu per satu seiring berjalannya waktu, hingga hari ini. Kadang kala Jagat bertanya-tanya, apakah keadilan di negeri ini terlalu menutup diri hingga orang-orang berjuang beringsut pergi, atau justru sebab mereka terlalu letih dan ingin menang dengan raba-rubu. Akan tetapi, yang Jagat ingat, terakhir kali Jagat lihat wajah-wajah itu penuh dengan keputusasaan.

"... Sistem itu sendiri yang menikam demokrasi! Para elit politik yang lahir dari suara rakyat justru membunuh Ibunya sendiri, membunuh demokrasi yang lahirkan dia muncul!"

Di tengah resonansi gema orasi, netra Jagat terpaku pada baju seseorang yang tengah memunggunginya dari jarak yang tidak terlalu dekat. Pada punggung orang itu terdapat tulisan: Kebisuan negara dan kebisuan korban adalah halangan terbesar kenangan akan korban. Aksi Kamisan merupakan gerilya kemanusiaan, subyek korban dan pendampingnya melawan penggelapan kebenaran.

Jagat menghela napas panjang sebelum netranya kembali merapahi setiap insan seakan ada yang sedang dia cari. Setitik dua titik air hujan kini mulai merintik di atas payungnya. Jagat menggeserkan sedikit tangan yang memegang payung, memastikan Ibu yang berdiri tepat di depannya terpayungi dengan sempurna. Sama seperti dirinya dan yang lain, Ibu Jagat juga memakai pakaian hitam.

"Sini payungnya, biar gantian Ibu saja yang pegang," kata Ibu tiba-tiba.

"Udah, Jagat aja. Nanti Ibu capek, tangannya bisa pegal."

Ibu tersenyum seraya menatap Jagat.

"Capek ... Ibu nyaris mati rasa sama yang namanya capek, Ja. Belasan tahun kita berdiri di sini setiap hari Kamis, sebuah harap yang kita simpan dalam kantong ternyata tetap betah dia di dalam sana. Tempat ini bahkan menjadi saksi tumbuhnya kamu." Ibu mengelus lembut tangan Jagat yang mencengkram payungnya kuat-kuat. "Dari kecil, kamu selalu mau payungi Ibu terus. Padahal dulu kamu masih belum setinggi ini, masih pendek."

Rumah CairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang