Etnis Idealis

183 114 161
                                    

Aroma kopi masih setia pada penciumannya. Entah bagaimana bisa wangi itu abadi, sejak pertama kali memasuki sampai terduduk rapi tak kunjung hirap pun juga pergi. Sudah berpuluh-puluh menit lamanya Jagat terduduk pada kursi yang tersaji di kedai kopi yang tak terlalu besar, tetapi tidak pula tergolong kecil itu. Dinding dan segala barang di dalam sana berwarna cokelat, ada yang tampak begitu pekat, ada pula yang seperti cokelat susu. Didominasi oleh satu warna saja memang, tetapi tidak senada.

Terlepas dari letak kedai kopi itu yang tak jauh dari kampusnya, kedai kopi itu pula milik salah satu teman abangnya, oleh sebab itu memang cukup sering dia datang untuk sekedar ngopi atau berdiskusi santai. Petrus, nama pemiliknya. Namun, Jagat kerap kali panggil pakai sebutan "abang" pula. Terlepas dari jarak umur yang cukup jauh, memang Jagat sudah anggap Petrus seperti abangnya sendiri.

Sudah sejak lama mereka jumpa, dan tentu saja aksi Kamisan yang telah mempertemukannya. Jagat ingat beberapa kejadian di mana Petrus menghampiri ibunya, waktu itu masih dini dia, begitu pula dengan Petrus yang belum setua sebagaimana sekarang ini. Kadang Jagat membayangkan bagaimana wajah abangnya sekarang ketika dia menatap wajah Petrus. Akankah diusia kepala empat abangnya ditumbuhi kumis yang lebat sebagaimana yang terdapat pada wajah Petrus? Atau abangnya justru memilih untuk mencukurnya? Namun, tentu saja tak mungkin dia dapatkan jawabnya.

Cukup sering Jagat datang ke kedai kopi itu untuk menemui Petrus, tetapi tidak untuk kali ini. Dia datang tak kurang hanya untuk menikmati secangkir kopi di sore hari.

Di hadapannya terdapat Radit dengan kaus hijau tua yang sibuk memainkan gawai. Sesekali tampak terkekeh, sesekali tampak pula lelaki itu mengerutkan dahi. Tak perlu dipertanyakan lagi, sudah hapal sekali Jagat dengan tabiat kawannya yang satu ini.

"Di mana-mana isinya omnibus law semua, RUU Ciptaker semua, kacau emang."

Ucapan Radit yang diiringi oleh decak suara berarak masuk dalam telinga. Sedangkan Jagat hanya mengedipkan mata seraya menyesap kopi yang dipesannya.

"Memang patut buat dikritik. Sejak awal sudah menuai banyak pertanyaan, kok. Dari Pemerintah yang enggan buka draft secara penuh sebelum sampai pada pembahasan bersama dengan DPR. Ditambah pernyataan yang minta DPR tuntaskan dalam waktu seratus hari. Keenggaksabaran itu yang bikin omnibus law enggak selaras dengan semangat otonomi yang jadi cita-cita reformasi."

"Iya, sih, wajar micu kecurigaan dan jadi perbincangan banyak orang."

Radit melenggut di tengah gema seruput suara kopi yang lagi-lagi Jagat sedut.

Netranya kini merapahi tiap-tiap sisi, membidik sudut-sudut sepi. Sore ini, kedai memang tak begitu ramai. Entah sebab tak punya lagi waktu kosong atau perkara isi kantong, kedai itu kian kopong begitu satu per satu insan beranjak sekonyong-konyong.

Diliriknya seorang barista yang sibuk meracik kopi. Dengan apron cokelat yang melekat pada badan, gerakannya cukup cepat seakan tiada hambatan. Bang Jo, Jagat memanggilnya. Cukup akrab dia dengan barista itu, beberapa kali mereka berdiskusi tentang negerinya sendiri atau hal lain yang tengah ramai dibicarai. Beberapa kali pula mereka membicarakannya bertiga dengan Petrus. Senang bukan main Jagat bila sedang berada di antara mereka berdua, sebab terkadang kehangatan seorang abang mampu dia rasa.

"Si Kale mau ke sini katanya, bareng temennya," kata Radit tiba-tiba, "bentar lagi paling nyampe."

Jagat menoleh seketika. "Kale?"

"Iya, temen gue itu, masa lupa? Perasaan beberapa kali ketemu, malahan ngobrol juga. Terakhir kalian ketemu pas gue minjem kamera itu dia anterin, cuma lo lagi mode pendiem malem itu, si Kale juga kagak sadar ada lo kayaknya, makanya gak nyapa dia itu."

Rumah CairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang