Pesan Bapak

152 105 172
                                    

Denting sendok dan piring mengisi, membikin hirap segala sunyi yang sedari tadi menyelimuti. Zinnia melirik sosok pria tua yang sudah terduduk rapi di atas kursi sana, satu tangannya tampak menekan remote agar televisi di hadapannya lekas menyala. Diliriknya kemudian ibu yang tengah melakukan hal serupa dengan dirinya-merapikan meja makan yang penuh akan piring pula gelas kotor-sebelum angkat kaki untuk mencuci.

Begitu selesai dengan meja yang kembali rapi seperti semula, raba-rubu Zinnia lekas hampiri ibu. Riak air menyalak, bersaing bising dengan resonansi televisi yang melengking. Berdampingan memang letak dapur dengan ruang yang di dalamnya terdapat televisi sekaligus meja makan itu. Maka tak heran bilamana bisingnya merapahi setiap penjuru, terlebih lagi bila bapak sudah menyetelnya dengan volume besar, kemana-mana suaranya bisa menggelegar.

"Biar kubantu, ya, Bu?"

Ibu memutar kepala, memusatkan mata pada Zinnia yang sudah berdiri tepat di sampingnya. "Enggak usah, biar Ibu aja yang cuci. Kamu tolong buatkan Bapak kopi saja, boleh?"

Sudut bibirnya terangkat seirama seraya dia lenggutkan kepala. Sesuai dengan apa yang ibu pinta, Zinnia lantas meraih cangkir yang biasa bapak pakai. Matanya melirik ke arah tempat kompor berada, ternyata sudah terdapat sebuah teko dengan api yang menyala di atasnya. Seraya menunggu air matang dengan sempurna, mulai diraciknya kopi yang menjadi kesukaan bapak sebagaimana yang pernah ibu ajarkan kepadanya. Zinnia tak pernah tahu kopi jenis apa yang biasa bapaknya minum itu. Yang dia tahu, kopi itu memiliki warna yang sungguh pekat dan bila aromanya mencumbu rongga-rongga indera, harumnya telak memikat.

Cuitan perlahan masuk pada pendengaran. Dengan tangan kanan yang menggenggam cangkir tadi, Zinnia memakai tangan kirinya agar kompor dapat mati. Kepulan asap beserta aroma sedap menguar begitu dituangkannya air panas dengan tangan yang tampak sedikit gemetar. Diaduknya kopi itu agar merata, membikin aromanya kian mengudara.

"Aku duluan, ya, Bu."

"Iya. Sekalian tolong bilang sama Bapakmu itu, suara televisinya kecilkan sedikit, bisa pekak telinga Ibu lama-lama ini," kata ibu seraya membilas alat makan yang kotor itu, "nonton untuk sendiri lho, kok, kayak nonton untuk sekampung."

Zinnia terkekeh mendengar ibu yang menggerutu sebelum dia angkat kaki untuk memberi bapaknya kopi. Zinnia mendudukan diri di samping bapak yang tampak fokus menonton berita dengan mata yang sedikit menyipit.

Zinnia letakan kopi tersebut di atas meja sebelum dia dongakan kepala untuk menonton pula berita. Bukan sebab dia suka, melainkan sedikit penasaran akan apa yang membikin bapaknya tampak tak hirau akan kopi yang dibawanya.

"Memang gak ada sejahteranya ini negara, ada saja kelakuan orang-orang besar yang punya kedudukan itu," ucap bapak begitu siaran berita berganti dengan iklan.

Alih-alih menanggapi ucapan bapak, tangan Zinnia justru meraih remote di atas meja untuk tunaikan apa yang ibu perintahkan kepadanya. "Aku kecilkan sedikit, ya, Pak?" ujarnya meminta izin, "Ibu ngomel tuh, katanya, 'Nonton untuk sendiri lho, kok, kayak nonton untuk sekampung.' mukanya masam, Pak, Ibu takut telinganya pekak."

Terkikik mereka sebelum akhirnya bapak menganggukan kepala. Di samping Zinnia yang mulai memelankan volume suara televisi tersebut, bapak mulai khidmat menyeruput.

"Ibumu itu, dulu kalau ngomel tambah cantik wajahnya. Sekarang, yang bertambah justru keriputannya," ujar bapak terkekeh geli, "sudah berkerut, ditekuk pula. Makin-makin terlihat wajahnya enggak lagi kencang, tinggal tunggu saja giginya pada rumpang."

Gema tawa seketika memenuhi seisi ruang, sedang ibu dengan kaki yang melaju justru mengeryit bingung di tengah ambang. Kedua tangannya memeluk setoples kudapan ringan. Toples berwarna merah muda itu berisikan kue kering yang sengaja dibelinya sore tadi untuk teman suaminya ngopi.

Rumah CairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang