Suara petikan irama gitar bersahutan dengan bunyi pintu yang dibuka. Darma baru menyadari, tangan kukuh Kale lah yang berkuasa membuka pintu tersebut, tanpa basa-basi ataupun salam permisi. Sudah biasa seperti ini, tidak usah dipertanyakan lagi di mana letak kesopanan Kale sebab Darma kata, terlalu formal rasanya kalau harus terlalu sopan.
Kamar kos milik Darma ini memang tidak sebesar milik Kale, tapi meski cenderung lebih kecil, Darma sungguh pandai menempatkan segala peralatan yang berada di dalam sana dengan rapi sehingga menciptakan banyak ruang yang tersisa.
Bau tembakau bercampur wangi maskulin dari minyak wangi miliknya tercium tajam dalam ruangan. Sebuah lukisan besar berada tepat di atas kepala ranjangnya. Kale tahu itu lukisan Ka'bah karya Affandi Koesoema, pemberian Kakek Darma. Di atas meja belajar yang berwarna putih itu terletak beberapa buku yang masih terhitung jari, al-quran, sajadah beserta sarung yang sudah terlipat rapi yang tertumpuk oleh songkok hitam. Selalu terletak tepat di situ, tidak pernah berubah sekali pun. Darma memang cenderung taat pada agamanya.
Kale begitu saja menidurkan diri tepat di samping Darma yang masih memangku gitarnya. Sedangkan Darma hanya bisa terkekeh kecil begitu didengarnya helaan napas panjang yang keluar dari kawannya itu. "Kenapa lo?"
"Kenapa apanya?" balas Kale yang mulai memejamkan mata.
"Tarik napas panjang, kenapa?"
"Emang harus kenapa-kenapa buat tarik napas panjang?"
Darma terdiam, tidak lagi menimpali ucapan Kale. Tepatnya dia kebingungan. Mulai dipetiknya kembali senar gitar itu. Gitar berwarna coklat dengan banyak tempelan stiker di sana. Kata Darma, gitar itu dibelinya sudah cukup lama, sejak dia baru menginjak bangku SMA. Sejak SMA memang dia memiliki minat pada musik, sejak itu pula Darma mulai mempelajarinya secara autodidak sedikit demi sedikit. Makin terbuai saja Kale yang tengah memejamkan mata oleh irama teduhnya. Senandung kecil keluar dari mulut keduanya. Sampai akhirnya lirik terakhir lagu dinyanyikan, baru lah Kale mengerjapkan mata.
"Ada makanan gak, Dar?"
"Mie instan cup doang, sih, ada." Darma mulai menaruh gitarnya sebelum dia raih segelas air minum yang terletak di atas meja.
"Gue masak, ya? Laper, belum makan."
"Gih dah. Jangan kebiasaan tapi, Kal."
Kale mulai bangkit dari posisi tidurnya. "Kebiasaan apa? Gue makan mie instan aja jarang banget. Lagian lo juga kalau gue numpang makan biasanya ada mulu makanan yang bener dah, tumben amat ini nyisa mie instan doang."
"Mana peduli gue lo mau makan makanan sehat atau apaan," kata Darma seraya terkekeh kecil, "maksud gue itu, jangan kebiasaan pura-pura miskin."
"Hahaha, sialan."
Kale mulai melangkah menuju dapur mini ciptaan Darma dengan meninggalkan suara tawanya yang masih menggema. Dia mengambil satu cup mie instan yang berjajar dengan setoples kopi di sana. Di sampingnya terdapat rice cooker kecil dan dispenser. Untung saja Darma punya mesin dispenser itu, jadi tak usaah repot-repot lagi Kale memasak air. Dengan tangan yang sibuk membuat satu cup mie instan, sesekali Kale melirik Darma yang terfokus pada ponsel di genggamannya, yang ternyata teruna itu sudah kembali pada posisinya dengan gitar yang juga kembali pada pangkuannya.
"Sekalian gak, Dar?"
"Gak usah. Gue baru aja makan sate, tadi ada yang lewat."
"Wah, lo gak solid banget. Makan sate gak inget gue, lo?"
"Nah kan, lama-lama muak gue sama lo yang pura-pura miskin mulu."
Lagi, Kale tertawa mendengar ucapan Darma yang seperti itu. "I'm not pretending to be poor. Gue cuma ... belajar hemat," kata Kale seraya menuangkan bumbunya, "Btw, kaga ada yang pedes-pedes apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Cair
General FictionSegala yang terindra adalah cair. Dan waktu ikut mengalir di dalamnya. Entah ke hulu mana yang dituju, entah di tepian mana kelak bertemu. Tapi sejatinya segala yang terindra adalah cair, dan waktu ikut mengalir. Begitu pula dengan wajah pulang yang...