"Mau kemana kamu malam-malam gini?"
Suara seruput kopi dan ketuk cangkir ketika ditaruh kembali pada meja menjalar silih berganti masuk ke dalam rungunya. Cangkir yang sama seperti setiap kali dia lihat bapaknya sedang ngopi. Cangkir itu berwarna hitam, tak bercorak apa-apa dan terkesan biasa saja. Tapi sepertinya tidak demikian bagi pria tua berkaos oblong hijau itu.
Malam ini rembulan tampak jelas pada matanya, pun juga bintang-bintang dan terpa angin yang menjamah pohon-pohon di sekelilingnya. Bak melambaikan tangan, ke kanan dan ke kiri rimbun daunnya bergoyang-goyang. Sungguh menyenangkan tuk dinikmati oleh mata telanjang.
"Ada janji sama Kale," jawabnya seraya mendudukkan diri pada kursi rotan yang terletak di teras rumahnya.
"Kale yang mana?"
"Haekal, Pak. Haekal Endaru, sering dia ke sini. Gimana Bapak lupa?"
"Oh, anak yang tatoan itu." Pria yang dipanggil Bapak itu memberi jeda seketika.
Tangannya mulai sibuk menyalakan korek sebelum disundutkannya pada sebatang rokok kretek. Asap mulai mengepul tepat di hadapan wajahnya. Aroma tembakau menyeruak masuk ke dalam penciuman siapa saja yang berada pada radarnya.
"Nama bagus-bagus Haekal, kok dipanggil jadi Kale. Kreativitas anak muda jaman sekarang aneh-aneh saja."
Sekonyong-konyong Ibu datang dari dalam, terdapat sepiring pisang goreng di tangannya. Perawakannya tidak begitu besar, namun juga tidak tergolong kecil. Rambutnya tergulung rapi, tampak denai rinai keringat pada kedua pelipisnya. Sepertinya dia kepanasan sewaktu goreng pisang.
"Masih mending itu, daripada kamu dulu, suka dipanggil bocah mbeling sama tetangga-tetangga, kan?"
"Apa artinya itu, Bu? Bocah mbeling, apa itu?"
"Anak nakal. Bapakmu itu, sewaktu sekolah menengah dulu nakalnya bukan main. Tapi, gak tau kesambet apa jaman kuliah jadi berubah begini Bapakmu. Ibu kira dirasuki apa dia."
Ibu dan Zinnia tertawa bersama, sedangkan Bapak justru bermuram durja di balik kepulan asap yang baru saja keluar dari rongga hidung dan mulutnya. "Biar mbeling dan kesambet gini, Ibumu dulu itu suka sekali dia sama Bapak. Nih, buktinya, kamu sampai lahir ke dunia."
Ibu menggerutu begitu rayu masuk pada rungu. Kembali ke dalam dia, entah sebab ingin menghindar dari rayuan Bapak atau membereskan dapur dari sisa-sisa kulit pisang.
Zinnia memang tumbuh dari keluarga utuh. Arti hangat baginya bukan sebatas dekap di mana tangan-tangan saling merengkuh erat. Cakap-cakap di sela gelap, acap kali itu yang membuatnya dikelilingi hal-hal baik, tumbuh dia dengan baik. Untuk hal ini, Zinnia sering kali bersyukur pada Tuhannya.
Senang sekali dia dianugerahi keluarga yang harmonis seperti ini. Akan tetapi, sedih kadang kala dia rasa. Rasa takut sewaktu-waktu bersemayam dalam dirinya. Takut dia kalau nanti Ibu dan Bapak merasa kecewa.
"Ah, rasanya baru kemarin kamu bisa jalan. Sampai bersorak riang Ibumu sewaktu disaksikannya kamu bisa lari." Tahu-tahu Bapak berucap begitu.
Tangan kanannya masih setia dengan sebatang kretek yang menyala. Urat-urat ditangannya tergurat jelas. Netra itu menatap damai dengan senyum yang sengaja dipertontonkan. "Tapi Bapak ragu, bakal nangis atau kesenengan dia kalau nanti saksikan kamu dipinta orang, dipinang lelakimu."
"Lelaki apa sih, Pak? Bapak ngomongnya kejauhan, ah. Aku, kan, baru dua puluh satu."
Bapak tampak mengetuk-ketuk rokok tersebut pada asbak kayu yang berada tepat di sampingnya. "Bapak, kan, cuma mengira-ngira aja. Rasanya kamu tumbuh terlalu cepat, padahal Bapak rasa selalu saksikan bagaimana kamu tumbuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Cair
General FictionSegala yang terindra adalah cair. Dan waktu ikut mengalir di dalamnya. Entah ke hulu mana yang dituju, entah di tepian mana kelak bertemu. Tapi sejatinya segala yang terindra adalah cair, dan waktu ikut mengalir. Begitu pula dengan wajah pulang yang...