3

5.2K 601 16
                                    


"Mas punya kekasih?"

Pintu kamar yang tiba-tiba dibuka berikut sebuah tanya membuat Genta terkejut.

"Kapan kamu pulang?"

"Dari tadi," jawab Sasa. "Mas tadi ke rumah calon istri?" tanya Sasa lagi. 

Sasa benar-benar bertanya, bukan menyelidiki. Tidak ada raut marah di wajahnya.

"Sasa dengar Ibu mas Genta marah," kata Sasa lagi.

Genta mengerjap.

"Kalau sudah bertunangan, artinya Mas akan menikahinya." Sasa mengartikan sendiri. "Nikah saja, lagi pula Mas dan Sasa nikahnya bentaran doang."

"Apa yang kamu katakan?"

Karena Sasa gadis yang jujur, tidak pernah berbohong, Sasa mengatakan dengan jelas. Duduk di samping Genta wanita itu menepuk paha Genta.

"Sasa enggak bisa anggap Mas sebagai suami. Karena Sasa enggak pernah bayangin mas Genta jadi suami Sasa."

Sasa tahu, bagaimana rasanya ditinggalkan. Karena Bastian melakukannya.

"Sekarang, Mas balik lagi ke sana, dan atur pernikahan Mas. Sasa pasti bantuin."

Genta belum menenangkan pikirannya, sekarang Sasa menambah beban baru.

Belum selesai Sasa bicara, terdengar ketukan pintu kamar mereka.

"Bulan di luar."

Sasa melihat ibu Genta berdiri di depan pintu begitu ia membukanya.

Sigap, Genta bangun dari duduknya.

Sasa tidak keluar. Genta perlu waktu untuk menjelaskan semuanya pada wanita yang bernama Bulan.

"Mas menikahi wanita yang mengandung anak lelaki lain, Mas lebih memilih wanita itu?"

"Apa yang kamu bicarakan, Bulan?"

Masih sama seperti saat ditinggalkan beberapa saat yang lalu, Bulan masih menangis. Wajah dan matanya menegaskan kekecewaan.

"Kita sudah pacaran bertahun-tahun, berapa ayahnya membayar Mas. Aku akan menebusnya!"

"Bulan, tenang dulu." Genta menyuruh dengan baik-baik.

"Ibu Mas sudah mengatakan semuanya! Mas pikir aku mengada-ngada?" Bulan benar-benar kacau. Wanita itu sudah menunggu kekasihnya pulang untuk hari bahagia mereka. Namun yang didengarnya justru laki-laki itu memutuskan hubungan dengannya dan memilih anak atasannya yang tengah mengandung benih lelaki lain.

"Papa tidak membayarnya, mas Genta menikahi Sasa dengan maharnya." karena merasa harus memberikan klarifikasi, Sasa keluar.

Bulan terkejut. Ia melihat dengan tajam wanita yang telah dinikahi kekasihnya.

"Mba tenang saja. Kami hanya menikah sebentar, kalau Mba tidak percaya, nikah saja dengan mas Genta. Setelah anak ini lahir, kami akan bercerai."

"Kamu bisa diam?!"

Sasa tidak takut apalagi sedih mendengar amarah Genta. Ia tidak merespons amarah lelaki tersebut.

"Sasa tidak ingin merusak hubungan Mba dan mas Genta." dengan jujur, Sasa mengatakannya.

"Diam Sasa!"

"Sasa memang hamil. Bukan anak mas Genta. Sasa hamil dengan Bastian." lagi, Sasa mengatakan hal yang sebenarnya.

Di tempatnya, Sarini terpaku. Antara sakit dan sedih ia mendengar pengakuan Sasa. Sedang Genta menarik lengan Bulan dan membawa wanita itu pergi dari sana. Mereka memang harus berbicara.

Tinggal berdua dengan ibu Genta, Sasa tidak kaku. Ia berbicara dengan sopan tadi. Mengatakan hal yang sebenarnya terjadi agar Bulan tidak salah paham pada hubungan mereka.

"Terimakasih sudah memberitahu mba Bulan." senyum Sasa tulus. "Wajar mba Bulan marah. Kalau Sasa berada di posisinya, Sasa juga marah." wajah polos Sasa cukup bahagia. Seolah tidak ada beban yang sedang ditanggung wanita muda itu.

"Sasa sudah melakukan kesalahan pada Papa. Sekarang, Sasa tidak ingin salah lagi."

Sasa tahu, masih ada raut marah di wajah ibu Genta.

"Jika Ibu marah, anggap saja Sasa anak pak Sanjaya yang sedang berlibur di sini," kata Sasa di akhir kalimat dengan wajah masih tersenyum.

Sarini masih marah. Tapi, saat ini iba sudah menyusup perlahan.

"Kamu bisa memperbaiki hubungan Genta dan bulan?"

"Tidak," jawab Sasa. "Hanya mas Genta yang bisa. Yang harus Sasa lakukan adalah meminta mas Genta menikahinya."

Sarini menangis. Putri Sanjaya masih sangat kecil. Lihatlah cara dia bersikap dan menjawab pertanyaannya.

"Sasa punya Bastian, Bu. Sasa sayang Bastian."

Sarini tidak menjawab lagi. Wanita itu masuk ke kamarnya meninggalkan Sasa sendirian.

Dalam hati Sasa berdoa semoga Bulan dan Genta baik-baik saja.

Masuk ke dapur Sasa memasak Mie instan yang dibelinya di mini market saat pulang tadi. Akan ia ceritakan pada Bastian nanti, betapa indahnya hari ini.

Dua bungkus Mie Instan goreng pedas, Sasa membuatnya. Setelah selesai ia mengisi ke dalam dua buah piring dan mengetuk pintu kamar ibu Genta.

"Ada apa?"

Sarini melihat Sasa berdiri di depan pintu kamarnya dengan dua buah piring di tangannya.

"Mie goreng pedas salah satu makanan yang bikin mood lebih baik selagi hati sedang marah." saat mengatakannya, wajah Sasa terlihat bahagia.

"Ibu tidak bisa makan pedas."

"Oh." Sasa bergumam. Ia pikir bisa makan bersama di siang yang sudah menjelang sore.
"Kalau begitu, Sasa yang habiskan. Selamat istirahat Ibu." Sasa mengangguk hormat sebelum melenggang dari sana.

Sasa suka makanan pedas. Di teras belakang, ia duduk. Sebuah bangku di bawah pohon belimbing. Angin sore menemaninya.

Cover lagu cowok baju hitam dijadikan latar oleh Sasa. Mie goreng pedas tidak hanya nikmat dimakan saat sedang marah. Ketika sedang dilanda rindu, juga nikmat.

Kali ini Sasa memposisikan diri sebagai Chef Renata yang sedang menyicip makanan buatan peserta Mster Chef. Sasa sangat menjiwai. Jika ada mba Nana dan bi Sal, tentu dua orang itu akan memberikan tepuk tangan untuknya.

 Jika ada mba Nana dan bi Sal, tentu dua orang itu akan memberikan tepuk tangan untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aib Hamil Di luar nikah (Tamat Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang