10

4.9K 733 116
                                    

"Sasa mau cerita." 

Sarini yang sedang membantu Rahmi membuat sayur pecel di dapur, menoleh pada Sasa yang sedang menumbuk kacang. Sasa bosan di kamar, asal minta izin keluar tidak pernah dapat.

"Apa Sa?"

Rahmi yang bertanya. Sedang Sarini hanya mendengar. Ia tidak terlalu fokus karena, setiap ada Sasa di antara mereka selalu ada yang diobrolin. Di tempat tinggalnya, Sasa sudah dikenal. Kermahan wanita itu disukai oleh ibu-ibu di sana.

"Kemarin malam, Sasa dicium mas Genta."

Sarini yang baru saja menyicipi tumbukan kacang, terbatuk mendengar ucapan Sasa. Sedang Rahmi kaget dan pura-pura bodoh saat menyadari ucapan Sasa.

"Dada Sasa sempat sakit."

Sarini tidak mungkin mendengar kelanjutan kenapa dada wanita itu sampai sakit, kan? 

"Pas Sasa cek----"

"Ponsel kamu mana?" Genta masuk tiba-tiba ke dapur. 

"Ada." Sasa mengambil ponsel di saku piyamanya.

Genta melihat sebagian perut buncit Sasa kelihatan. "Enggak ada baju lain?"

Sasa ikut menunduk melihat arah pandang Genta. "Ada. Sama saja. Kalau enggak kancingnya copot ya robek di sini." jemari Sasa menunjuk ke sisi pinggangnya.

Selama berada di sini, ia tidak pernah membelikan pakaian untuk Sasa. Miris memang, pewaris tunggal harus mengenakan pakaian seperti itu. 

Di atas lemari pendingin ada guci kecil, Genta mengambil dua buah peniti di sana. Berlutut dihadapan Sasa, Genta memasang peniti tersebut di bekas jahitan kancing yang terlepas. Tentu saja tingkah Genta menjadi perhatian Sarini, tidak dengan Rahmi.

"Habis Ashar mau keluar?"

"Mau. Ke mana?" senyum Sasa merekah.

"Beli baju," jawab Genta. "Sekalian, Bulan lagi pengen makan martabak."

"Besok saja." Sasa melihat peniti yang telah dipasang oleh Genta. "Bareng bu Rahmi mau bayar listrik."

Genta tidak suka jika Sasa menolak. 

"Makasih penitinya." Sasa kembali ke bangku untuk melanjutkan pekerjaannya. "Sasa lupa sampai di mana tadi?"

"Pas Sasa cek," jawab Rahmi lupa jika mereka sedang membahas topik sensitif.

"Oh iya."

Sarini berdeham. "Sudah sore, diburu yuk."

"Ini juga Sasa kebut, Bu." 

Bukan itu maksud Sarini.

"Pas Sasa cek kan Bu, ternyata ada hormon yang meningkat saat seorang lelaki mencium wanita. Itu merupakan refleks alami dari lawan."

Mendengar penjelasan Sasa Rahmi segera berbalik dan mulai menghidupkan kompor. Menyesal wanita itu telah menjawab pertanyaan Sasa.

"Jadi, yang Sasa takutkan tidak terjadi. Sasa tidak terkena serangan jantung. Karena ciuman itu jantung Sasa berdebar."

Sebentar, kenapa ada bahasan ini di dapur? Siapa mencium siapa? 

"Alhamdulillah, Mas. Sasa sehat-sehat saja."

Apa?

"Nanti, kalau Mas cium lagi Sasa tidak akan takut lagi." setelah mengatakan kalimat yang membuat Genta melongo, Sasa menggeleng. "Enggak boleh. Anggap saja malam itu Mas khilaf."

Antara marah dan malu, Genta keluar dari dapur. 

"Mas menciumnya?"

Genta baru saja menutup pintu kamar ketika mendapatkan pertanyaan dari Bulan.

"Kenapa?" Bulan sedang sangat marah.

"Apa yang kamu pikirkan?" Genta tidak suka melihat tatapan bengis dari Bulan.

"Kira-kira apa yang aku pikirkan setelah mendengarnya!?" teriakan Bulan terdengar sampai keluar.

"Mas menyukainya? Mas jatuh cinta?!"

"Rendahkan suaramu, Bulan." Genta menegur Bulan.

"Aku istrimu! Yang kukandung anakmu! Sedang dia?!"

"Bisa dengarkan aku?" Genta ingin Bulan berbicara baik-baik, bukan dengan emosi seperti saat ini.

"Dia menggoda Mas?" Bulan menangis. Mereka baru saja pulang padahal belum sempat makan martabak dikarenakan Sanjaya tidak bisa menghubungi Sasa. "Aku tidak butuh penjelasan! Cukup jawab, apakah dia mengajak Mas tidur!?"

"Jaga bicaramu, Bulan." Genta masih sabar menghadapi Bulan. Laki-laki itu tidak tahu, jika di dapur Sarini sedang memarahi Sasa karena kesalahannya beberapa saat yang lalu.

"Kamu lihat? Sebelum ada kamu, mereka baik-baik saja. Kamu tidak merasa sebagai benalu?"

Sasa tahu, Sarini marah karena mendengar teriakan Bulan.

"Keadaanmu seperti ini karena aib yang ada dalam kandunganmu." Sarini menatap tidak suka pada Sasa. "Seharusnya cukup kamu! Jangan anak dan menantuku yang menanggung aibmu!"

Rahmi tidak berani menengahi. Wanita itu hanya menyaksikan tanpa bersuara. Ia kasihan pada Sasa tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

"Bagi kami, kamu adalah malapetaka."

Dada Sasa berdebar keras. Malapetaka.

"Kamu wanita hina yang menggantung nasib di bahu anakku!"

"Maaf. Sasa salah." Sasa tidak menyangka, kalimatnya akan didengar oleh Bulan. Bibir Sasa bergetar.

"Sampaikan maafmu pada ayahmu! Bilang padanya, kami tidak memelihara wanita kotor sepertimu!"

Saat pulang tadi, Bulan masuk terlebih dahulu sedang Genta mengambil keperluan Bulan di mobil. Jelas, Bulan mendengar semuanya.

Sasa terpekik saat merasakan seseorang menjambak rambutnya. 

"Kamu menggoda suamiku, Hah?!"

Sasa kesakitan. 

"Lepaskan Bulan!" sekuat tenaga, Genta berusaha melepaskan tangan Bulan dari kepala Sasa. 

"Jalang kamu!" 

Genta marah melihat sikap brutal Bulan. "Kamu akan menyesal jika tidak melepaskannya, Bulan!!"

"Oh ya?" Bulan mendorong tubuh Sasa. "Aku akan melihatnya, siapa yang akan menyesal aku atau dia!"

Bruk!

Genta menghempas tangan Bulan yang menariknya untuk menolong Sasa. Genta tahu, Sasa lemah. Jantung Genta bertalu-talu saat mendapatkan Sasa tidak sadarkan diri.

"Istrimu pendarahan, Genta!"

Genta tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Sasa tidak sadarkan diri dan Bulan mengalami pendarahan. 

Siapa yang harus ditolong terlebih dahulu? Kedua wanita itu sama-sama istri sahnya dan sama-sama tengah mengandung.

-

Aib Hamil Di luar nikah (Tamat Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang