4

4.3K 635 17
                                    

"Kalau Bulan tidak mau, apa yang bisa kamu lakukan?"

"Aku akan pergi dari sini."

Sarini sering menangis semenjak putranya menikah. Harusnya ia sedang berbahagia karena sudah memiliki menantu, tetapi ia tidak bisa menutup mata pada sebuah fakta lain.

"Kalian akan bercerai setelah dia melahirkan. Nikahi Bulan."

Genta menatap ibunya. Ia masih mencintai Bulan. Wanita pertamanya yang kini sudah mengetahui semuanya. Genta bingung.

"Sasa sudah mengizinkanmu. Nikahi Bulan. Kita akan merahasiakan semuanya dari Sanjaya."

"Ini masih awal. Kalian belum terbiasa satu sama lain." kali ini Sarini berpikir sedikit tentang Sasa. "Jangan sampai ada yang tersakiti nantinya. Lebih cepat lebih baik."

"Aku tidak bisa melakukannya." Genta sangat fustrasi. Keadaan Bulan yang kacau, belum lagi hatinya. Bagaimana tanggungjawabnya pada Sanjaya? Bukan semata karena tahta, lelaki itu menghormati Sanjaya, bagaimana jika hal buruk menimpa hubungan keduanya?

"Bicara dengan Sasa. Setelah itu, buatlah keputusan."

Genta tidak ingin ambil resiko. Apa yang dipahami Sasa selain sebuah perasaan karena dirinya masih sangat muda. Telah mengandung anak dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab saja wanita itu tidak menyesal. Apa yang mau dibicarakan dengan wanita itu?

"Kamu masih mencintai Bulan, Genta. Pertimbangkan. Yang dikandungnya bukan darah dagingmu."

Genta meraup wajahnya, seketika bayangan Bulan histeris saat berbicara dengannya tadi singgah di benak.

"Di mana dia?"

"Ke warung depan." Sarini mengusap air matanya. Kenapa hidup putranya bisa se-tragis ini?

Genta yang berkelakuan baik, sopan tidak pernah memperlakukan orang semena-mena, malah ditimpa hal yang sangat tidak mengenakkan.

"Assalamua'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Sarini bangun hendak masuk ke kamar.

Karena Sasa bukan tipe yang peduli pada keadaan sekitar, wanita itu memberikan senyumnya dan segera ke dapur.

Satu bungkus Karedok dibelinya dari warung depan depan tidak jauh dari rumah. Rencana Sasa ingin membeli sabun cuci piring, tetapi melihat penjual Karedok wanita itu jadi kepingin.

Bumbu kacangnya terasa, cuma sayurnya kurang banyak. Mungkin karena harga lima ribuan.

"Ibu mau?" 

Sarini menggeleng. Keluar dari kamar karena penasaran apa yang dilakukan wanita itu. Dua buah sabun cuci piring masih dalam kresek tergeletak di atas meja makan.

"Kamu beli ini?"

Sasa mengangguk. "Sasa cuma bilang sabun cuci piring, benar itu?" meletakkan sendok, wanita itu mengambil salah satu sabun dalam kemasan hijau.

"Benar. Ada piringnya." Sasa menjawab pertanyaannya sendiri. "Tadi Sasa enggak lihat karena asyik ngobrol sama yang jual Karedok."

"Enak?" tanya Sarini. Melihat cara Sasa makan, rasa kasihan meluap begitu saja.

"Enak. Tadi Sasa nanyain resepnya, dikasih. Tapi lupa, bahannya agak susah. Yang Sasa ingat cuma kacang, gula merah dan sayur."

Sasa melahap sendok terakhir. 

"Ada yang ngasih brosur ini tadi." Sasa menyerahkan selembar kertas yang diberikan oleh seorang sales.

Perumahan.

"Sasa berniat membelinya." Sasa tidak bermaksud menyinggung perasan Sarini. "Bila Sasa pindah nanti, Ibu bisa menyewakannya."

"Kamu mau tinggal di sana?"

"Untuk sementara. Setelah melahirkan Sasa akan pulang ke rumah Papa."

Sarini menggigit lidahnya menahan ngilu yang tiba-tiba saja datang menyapa.

"Akan sulit jika mba Bulan harus lihat Sasa setiap hari di sini. Sasa mengerti perasaannya."

"Tidak apa Genta menikah lagi?"

"Tentu tidak. Percayalah. Mas Genta bukan tipe Sasa. Sasa tidak cinta." lugas sekali kalimat wanita yang masih polos itu.

"Kamu istrinya," kata Sarini antara menerima Sasa tapi menolak anak yang tengah dikandung wanita itu.

"Hanya sementara." Sasa tersenyum. "Kami enggak pernah ngapa-ngapain. Saat di rumah papa, mas Genta tidur di sofa. Tapi di kamar rumah ini tidak ada sofa, jadi kami tidur di satu ranjang."

Sangat lancar wanita itu berbicara membuat hati Sarini semakin tidak membaik.

"Kalau Genta tidak mau menikahi Bulan, bagaimana?"

"Sasa tidak bisa memaksa. Yang punya hati mas Genta," kata Sasa tanpa menutupi.

Tidak ada lagi yang ingin diketahui Sarini. Sebuah poin sudah didengar olehnya jika Sasa tidak keberatan jika Genta menikahi Bulan.

"Sasa tahu, sudah buat Ibu kesal. Sasa tidak pernah mau dengan mas Genta. Sempat kaget saat papa bilang mas Genta akan nikahi Sasa," jujur Sasa.

Di balik dinding Genta mendengar obrolan Sasa dan ibunya. Antara yakin dan tidak dirinya membuat keputusan baru. 

Sama halnya dengan Sasa, Genta tidak memiliki perasaan apapun untuk wanita itu.

Lantas bagaimana dengan Sanjaya? Bisakah mereka menyembunyikan hal itu selamanya?

"Kamu tidak akan ke mana-mana sampai melahirkan."

Sasa yang baru merebahkan tubuhnya, bertanya maksud ucapan Genta. "Ada apa?"

"Saya akan menikah." Genta tidak menyebutkan kata 'lagi'.

Sasa berseru girang. "Alhamdulillah. Kapan?"

Genta yang terkejut dengan respons Sasa. "Kamu senang?"

"Sangat. Melebihi senang saat ditembak Bastian."

Genta terdiam. Mungkin ini cara Tuhan untuk takdir hidupnya. Genta tidak bisa berpikir. Benaknya mulai dipenuhi senyum manis milik Bulan yang bahagia mendengar kabar ini.

"Kapan Mas?" tanya Sasa lagi. Miris, seolah dia yang sedang dilamar.

"Saya belum berbicara dengan orang tuanya." dan Genta sudah harus berpikir jawaban yang akan diberikan oleh orang tua Bulan nantinya. 

"Semoga dimudahkan." doa Sasa diaminkan dalam hati oleh Genta. "Sasa pasti bantuin apa yang bisa. Mas bilang saja."

Di saat orang lain susah untuk berpoligami, Sasa malah memudahkan jalan Genta. Genta tidak tahu apakah ia akan menuai bahagia atau sedang mencipta prahara.

"Baiklah. Semoga lancar sampai hati H," doa Sasa untuk yang kedua kali. Dengan senyum bahagia, Sasa menarik selimutnya. "Selamat malam mas Genta."

Aib Hamil Di luar nikah (Tamat Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang