6

4.2K 687 20
                                    

"Terimakasih." Sasa menunduk hormat pada ibu Genta dan membuat Sarini bingung. Kenapa tiba-tiba Sasa berterimakasih padanya.

Sasa keluar dari kamar bukan untuk sarapan. Ia hanya ingin bertemu Sarini. Mengucapkan terimakasih atas kebaikan ibu Genta padanya. Lihatlah plester yang terpasang di kakinya. Perhatian Sarini disukai Sasa.

"Kita sarapan dulu," ajak Sarini.

"Sasa sudah makan tadi jam empat. Banyak."

Genta dan Bulan yang duduk berdampingan memperhatikan Sasa. Sementara yang diperhatikan fokus pada Sarini.

"Kamu makan lauk dingin?"

"Sasa goreng Tahu. Maaf minyaknya keciprat. Sasa juga tidak mencuci wajannya." Sasa terkekeh saat mengatakannya.

Di tempatnya Genta masih memperhatikan Sasa. Hingga tubuh mungil itu keluar dari ruang makan, lelaki itu masih belum menyentuh sarapannya.

Sasa selalu muncul di saat keadaan sedang tenang. Ia datang dengan caranya setelah itu pergi meninggalkan orang dengan rasa bersalahnya, terutama Genta.
Putri Sanjaya, sudah terlihat mandiri dan Genta merasa kurang memperhatikannya.

"Mas mengkhawatirkannya?"

Genta tidak langsung menjawab, menelisik raut untuk memahami nada dalam kalimat tanya Bulan.

"Jelas banget, Mas. Mas akan menceraikannya."

"Tidak cukup aku mengatakan jika yang aku cintai hanya kamu?" tidak gombal. Genta berbicara dengan serius.

"Aku masih bertanggung jawab atasnya." Bulan sudah dewasa, Genta tahu wanita itu mengerti maksudnya. "Jangan terbawa perasaan. Aku menjaganya tak lebih karena dia putri atasanku."

Bulan mengerti, tapi tetap pada nurani seorang wanita. Melihat dengan jelas kekhawatiran seseorang yang dicintai pada wanita lain itu cukup menyakitkan.

"Aku akan mengantarmu."

"Ayah sudah menungguku. Nanti Mas jemput saja."

"Baiklah." Genta mendapatkan pelukan dari Bulan. "Hati-hati."

Bulan pergi. Statusnya sebagai pegawai di sebuah lembaga pemerintah membuat wanita itu tidak memiliki waktu banyak di pagi hari.

"Siapa?" tanya Sasa ketika mendengar pintunya diketuk.

"Saya."

Sasa membuka pintu kamarnya. "Ada apa Mas?

Genta ingin berbicara, apakah ia harus meminta izin dulu pada Sasa? "Buka dulu pintunya."

"Ini udah," jawab Sasa. Sebagian tubuhnya masih di dalam kamar, hanya kepala wanita itu yang melongok keluar.

"Saya mau masuk."

Sasa mengerjap. "Istri mas Genta di mana?"

Sudah dikatakan, berbeda cara Sasa berpikir dengan orang lain.

"Kerja."

Sasa membukakan pintu kamarnya. "Mas Genta tidak ikut?"

"Saya tidak bekerja di sana."

"Maksudnya menunggu mba Bulan. Biar kelihatan suami romantis."

Perlukah Genta masuk dalam obrolan Sasa?

"Kamu ke Klinik?"

Sasa mengangguk.

"Kenapa tidak memberitahu saya?"

"Karena Mas enggak ada di rumah. Jadi Sasa izin sama ibu."

"Kamu harus memberitahu saya. Papamu menyuruh saya menjaga kamu."

Sasa tertawa. "Kalau Sasa tidak bisa pasti bilang sama Mas. Papa terlalu lebay. Enggak usah dipikirin."

"Kamu tidak menggunakan ATM yang saya berikan?"

"Belum Mas. Bukan tidak. Tabungan Sasa masih banyak. Nanti kalau habis pasti Sasa pakai. Tenang saja, Sasa boros kok." tawa Sasa sama sekali tidak terbebani. Sasa dengan kepolosannya berhasil membuat Genta menarik nafas dalam.

"Ada lagi yang mau Mas tanyakan?"

Pandangan Genta kini turun pada perut Sasa. Di dalam sana memang bukan darah dagingnya. Tapi, ia sudah menjabat tangan Sanjaya mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk hidup Sasa.

"Kandunganmu, baik-baik saja?"

Sasa mengangguk. Ia mengusap lembut perutnya. "Aman. Dia baik, tidak merepotkan. Sasa suka."

Bagaimana sebenarnya perasaan wanita itu, Genta tidak mengetahuinya. Sasa selalu ceria. Tidak pernah melihatnya dengan wajah suram.

"Saya orang pertama yang harus kamu beritahu apapun yang ingin kamu lakukan."

Sasa tidak menjawab.

"Kamu juga istri saya."

Sasa mendengarnya.

"Katakan jika ada yang ingin kamu katakan. Katakan apa yang kamu inginkan. Jangan pendam. Saya sangat menghormati papamu."

Hening beberapa saat. Tatapan Sasa lurus ke arah dinding. Apa yang diinginkannya selain Bastian? Bastian harus melihatnya. Bastian harus tahu jika dirinya bahagia mengandung anak lelaki itu.

"Sasa rindu Bastian."

Seperti ada yang mendorong Genta dari ketinggian. Perasaan apa itu? Genta berpikir Sasa sedang mencerna kalimatnya.

"Di mana dia, Sasa tidak tahu. Sasa sudah menghubungi Indra dan jagat. Mereka juga tidak tahu. Tapi Sasa tidak putus asa."

Ketika dihadapkan pada keadaan seperti ini, Genta hanya bisa mendengar. Menyimak tanpa harus membawa hati ikut terlibat. Sasa masih belia. Sejauh ini belum ada yang memahami wanita itu, bisakah dirinya memposisikan diri sebagai sandaran?

"Mas Genta enggak bawa hp kan?" Sasa bangun dari sisi ranjang. "Nanti mba Bulan telepon."

Iya. Genta punya Bulan. Genta punya tanggungjawab selain Sasa.

"Enam bulan lagi. Semoga mas Genta mau bersabar." senyum Sasa tidak pernah luntur. Apakah Tuhan telah mencabut kesedihan dari wanita itu?

"Sasa tidak akan merepotkan." Sasa membalas tatapan Genta. "Padahal Sasa ingin beli perumahan. Tapi enggak enak sama ibu mas Genta, dikirain Sasa enggak betah tinggal di sini."

"Sasa mau mandiri. Nanti Sasa terbiasa hidup dengan dia." tangan itu kembali mengusap sayang perutnya.

"Susah menerima orang macam Sasa." wanita itu tergelak. "Papa saja merasa terganggu dengan anak yang dianggap haram ini. Tapi Sasa suka. Sasa sayang." dengan senyum kalimat pahit itu diucapkan Sasa. Sebesar apa kepolosan wanita itu?

"Mba Bulan hamil juga?"

"Tidak tahu." kalimat Sasa masih menari dalam benak Genta. "Belum dicek "

Raut Sasa menegaskan jika dirinya sedang bersemangat. "Semoga cepat hamil. Mas pasti akan senang kalau mba Bulan hamil. Bentar lagi jadi papa dong."

Genta tidak bisa tersenyum seperti Sasa untuk saat ini. Lelaki itu hanya bisa mengatakan, "Semoga."

"Sasa doakan. Mas Genta dan mba Bulan jadi orang tua hebat." harap Sasa diucapkan dengan semangat menggebu.

Genta sedang mengenal lebih dalam sosok putri semata wayang Sanjaya. Raut ceria, nyatakah? Nada semangat kalimatnya, bukan kebohongan kan?

Sayangnya, perhatian tersembunyi itu tidak mendapat balasan hangat dari Sasa. Hati Sasa masih disibukkan dengan Bastian.

"Sasa ngantuk. Mas Genta keluar dulu ya."

Aib Hamil Di luar nikah (Tamat Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang