~~~
Koridor SMA Negeri 12 Budaya Baru itu kini sangat lah tidak layak di sebut sebagai sekolah elit di sekolah itu. Lantai putih yang kini sudah bewarna coklat dan berukir alas sepatu itu kini terlihat jelas. Hal itu sukses membuat kepala sekolah geram namun sedikit memaklumi karena cuaca di pagi hari senin itu kini sedang hujan.
Semua siswa diam-diam tersenyum tatkala tetesan yang jatuh itu tadinya hanya gerimis namun kini menjadi semakin deras menandakan sudah pasti upacara pagi itu ditiadakan. Namun sayang itu hanya terjadi dalam waktu lima menit yang amat singkat.
"Dikarenakan masih memiliki cukup waktu dan cuaca kembali cerah, diharapkan kepada seluruh siswa untuk segera menuju lapangan dan mengadakan upacara bendera." Suara yang berasal dari gedung kantor itu kini membuat siswa berdecak secara bersamaan.
"Kenapa berhenti si ujannya, gua curiga salah satu siswa disini ada yang punya pawang ujan." Seluruh siswa kontas memandang ke arah lelaki itu dan terkekeh. Tak heran karena lelaki itu memang terkenal sebagai sosok yang selalu ceria dan memiliki humor yang rendah di sekolah itu.
"Heh bahlul kalo emang bener ada yang punya gituan ya enggak bakal di pake lah. Bego amat itu anak bukannya seneng enggak upacara juga."
"Seneng ya enggak upacara?"
"Iyalah lagian siapa yang engg-" omelan itu terputus ketika ia merasakan rasa sakit yang mengerubungi telinganya bagai tertarik lalu terlepas dari kepalanya itu. Ah, dia lupa kalau pak Banar selalu muncul tiba-tiba. Tentu saja mendengar perkataanya tadi membuat pak Banar langsung menarik telinga nya dan menggeretnya bak anak kucing ke barisan upacara.
"Sekali lagi saya dengar kamu ngomong seperti itu, saya geret kamu ke tengah lapangan," Tegas pak Banar yang sudah memposisikan anak remaja itu di barisan upacara terdepan.
Sejak tadi Kemala Lethia tidak henti-hentinya menatap tajam ke arah barisan kak Anggara Atharya, siswa kelas dua belas yang selalu membuat guru menghela nafas panjang akibat ulahnya. Terkadang ia menjadi kebanggaan karena selalu berhasil menang di ajang olimpiade fisika. Namun di satu sisi Anggara selalu membuat ulah yang dibilang tidak fatal dan hal itu sangat lucu sebenarnya, namun merugikan. Entahlah Kemala sudah tidak perduli dengan tingkah laku kakak kandung nya itu.
Sepuluh menit telah berlalu dan pengibaran bendera pusaka pun telah dilakukan. Sekarang sudah dipastikan seluruh siswa mulai bosan dengan topik yang dibawakan Pembina upacara itu. Bila tidak masalah sampah, sudah pasti peristiwa pembulyan yang kerap terjadi sepanjang sekolah ini berdiri.
Dari kejauhan telinga Kemala sudah menangkap apa yang ia dengar sangat familiar. Cuaca yang mendung sehabis hujan, tentunya sangat dingin apabila tidak mengenakan jaket. Namun sudah pasti guru-guru melarang dikarenakan sedang upacara, siswa lain tentunya tidak masalah dengan hal itu. Tapi tidak dengan seorang Harsa Nandana, sudah dipastikan anak itu akan sulit untuk bernafas dan kini perlahan pasokan oksigen yang dihirupnya kian menipis. Sekeras apapun lelaki itu mencoba untuk mengambil pasokan oksigen yang tersisa, namun tetap saja hal itu tidak akan tertolong selain dengan inhaler yang tertinggal di rumah.
Dengan bantuan petugas PMR yang berdiri di barisan terbelakang itu, Kemala telah membawa Harsa menuju UKS. Sudah dipastikan saat ini gadis dihadapannya itu sedang menahan rasa panik dan marah-nya yang kian memuncak namun sebisa mungkin ia menahannya hingga lelaki itu kembali bernafas dengan normal. Sejak tadi Kemala sudah menghubungi bunda Harsa untuk membawakan benda lonjong itu ke sekolah, namun tetap saja perasaan itu tidak kunjung reda.
Bagaimana bisa sahabatnya itu lupa membawa alat yang sangat penting itu di cuaca yang sangat dingin ini.
"K-kemala u-udah g-gapapa g-gua b-bisa tahan s-sampe b-bunda dateng," ucap Harsa dengan nafas yang tersengal sepertinya pasokan udara sudah semakin tipis yang dia rasakan. Benci, Kemala benci melihat lelaki itu seperti ini. Terlebih lagi sifat nya yang susah terkontrol saat sedang panik. Itu membuatnya merasa semakin tidak berguna.