"Sekeras apa pun aku menahannya, semuanya akan tetap gagal..."
~~~
Takdir kembali bercanda. Semuanya masih sulit untuk diterima sebagai kenyataan bukan sebagai bunga tidur belaka. Luka yang didapat beberapa tahun yang lalu belum sepenuhnya pulih, masih ada goresan kecil disana. Namun goresan itu kembali basah, seiring dengan air mata yang mengalir, seiring dengan langkah kaki menghantarkan orang terkasih untuk istirahat dalam keabadian.
"Bunda, Harsa boleh marah enggak sama bunda. Kenapa bun, kenapa enggak mau nunggu Harsa sebentar aja. Harsa cuman mau hadir di saat terakhir bunda, cuman itu keinginan Harsa." Tatapan anak lelaki terlihat kosong, air mata yang mengalir semalaman pun telah kering dan terkuras habis. Hatinya terasa kembali begitu nyeri melihat gundukan tanah dengan bertanda nama orang tersayang. Sungguh hari yang menakutkan itu ternyata benar-benar datang kepadanya.
"Kalau bunda bisa bales omongan Harsa, mungkin bunda nyuruh Harsa untuk ikhlas. Maaf bunda, Harsa butuh waktu untuk itu."
Perpisahan kembali terjadi pada jalan hidupnya. Merelakan mereka meninggalkan kita adalah hal tersulit yang harus di lakukan. Semuanya butuh waktu. Namun terkadang keadaan tak mau mendengar itu, mereka kembali mempermainkannya disaat yang lalu masih membekas.
Bunda Harisa, benar bukan ibu kandung Kemala. Ia hanya seorang tetangga yang baru mengisi rumah kosong di sebelah rumah Anggara. Namun ia juga bukan hanya sebatas tetangga, hadirnya menggantikan sosok ibu yang pergi tanpa alasan yang pasti. Rasa sayang itu pun terus tumbuh setiap harinya. Namun Kemala memilih untuk tetap kuat, demi Harsa. Anak itu sudah terlihat kehilangan arah dalam hidupnya.
"Harsa, sudah mau hujan kita pulang dulu ya," ajak kemala yang masih memayungi Harsa dengan payung milik penjaga makam di TPU itu.
"Kalau harsa pergi, bunda sendiri dan Harsa juga sendiri di rumah, kenapa gak bisa bareng-bareng aja?"
"Manusia pada dasarnya memang dia sendirian. Tapi bukan berarti kita semaunya melabeli diri kita kalau kita sendirian saat ini, karena di sekitar kita nyatanya masih ada yang peduli. Ikhlas sa, lu harus bisa merelakan semuanya karena ini sudah takdir." Mungkin semua orang akan berpikir diantara mereka, kak Anggara adalah orang terkuat yang merelakan semuanya dengan begitu saja. Salah, Anggara hanya memakai topeng nya di saat bersama kedua adiknya itu. Hanya boneka berbentuk ular lah yang tahu isi hati nya. Setelah kepergian bunda, Anggara seperti orang yang tidak waras di malam hari. Ia akan tertawa lalu menangis dan bercerita seolah boneka di hadapannya itu bernyawa lalu menghibur dirinya di sela-sela isak tangis yang terdengar di malam yang sunyi itu.
"Jason, bunda lagi apa ya disana. Dia bahagia enggak ya di sana. Dia kangen enggak sama Anggara, soalnya Anggara kangen terus setiap hari apalagi ngelihat muka Harsa. Jason, Anggara bisa enggak sendirian ngerawat mereka berdua. Tauah Jason jahat, kalo ada yang ngomong itu jawab Jason." Kemala terdiam saat suara yang samar-samar di balik pintu berwarna coklat dengan gantungan yang berukir 'kamar Jason dan Anggara'. Pikirannya memerintahkan untuk menerobos masuk lalu mendekap tubuh kakak nya itu, namun di hatinya Kemala merasa ia bagai orang asing yang baru mengenal sosok Anggara salam sehari. Karena malam itu bukanlah seperti Anggara yang Kemala kenal.
Perbincangan Anggara dengan Jason itu terhenti saat ia merasakan ada seseorang yang mendekap tubuhnya dari belakang. Seperti biasa, dekapan itu terasa hangat dan menenangkan namun di satu sisi ia merasa malu mengingat apa yang ia lakukan tadi.
Seolah paham dengan situasi, Kemala kemudian berkata "enggak usah malu, sekarang kalau kakak mau nangis sini di bahu adek." Jason kembali menjadi saksi dari separuh kisah hidup kedua kakak adik itu saat mereka dihadapkan oleh perpisahan yang amat pahit. Tanpa suara namun Kemala tahu, di balik gelapnya malam itu, isakan kak Anggara semakin hebat dan wajahnya sudah sangat sembab dari pada hari sebelumnya akibat semua rasa itu tertahan. Rasa yang sungkan untuk ia tumpahkan.
"Jangan pernah merasa harus kuat, enggak boleh sedih. Inget kalau kakak juga manusia, kakak berhak nunjukin semua kelemahan kakak. Kemala merasa enggak berguna kalau kakak sendirian, pasti bunda sedih. Kuat bukan berarti tidak lemah, karena terkadang badai datang tanpa perintah dan merobohkan semuanya." Kedua mata Kemala yang tersorot cahaya bulan itu seolah menambah ke tegasan dalam setiap kalimat yang ia ucapkan di hadapan wajah Anggara.
.
.
.
Memeluk daksa seorang diri di tengah dinginnya malam dan sorot cahaya bulan yang seolah tak membiarkan anak adam itu merasakan kesepian di tengah kegelapan. Sorot cahaya yang seolah ingin memberitahukan kepada semesta kalau anak itu belum pulih dari luka. Tatapannya terlihat kosong seolah kehidupan sudah usai disana, seolah harapan telah sirna dan menelan semangat hidup nya yang telah susah payah ia bangun. Kedua matanya tak lagi berbinar terang, tetapi hitam pekat.
Sebab bunda pergi dengan pamit melalui sebuah pesan. Kata maaf dan terima kasih belum sempat Harsa ucapkan di hadapan bunda. Semuanya terasa sangat janggal. Kepergian bunda terlalu mendadak di benak Harsa, atau dia yang tak tau kan sesuatu.
"Bunda seperti bulan. Sekarang bulannya terang berarti bunda sudah bahagia disana. Harsa sudah ikhlas bunda, dan Harsa ikhlas harus menahan rasa rindu yang tidak akan pernah terbalas."
Dari kejauhan, pria paruh baya itu gagal, gagal menahan air matanya agar tidak mengalir deras. Perasaanya kembali berkecamuk, seolah mengisyaratkan suatu hal yang seharusnya tidak mungkin terjadi.
~~~
Next....