"Apa bunda dihadapkan oleh dua hal?"
~~~
Bibirnya terangkat membentuk lengkungan yang indah untuk dipandang, kontras dengan ke indahan liontin di tangannya. Liontin dengan dominan warna biru berbentuk bulat sabit, ia tersenyum saat membayangkan benda ini bertengger di leher indah sang gadis. Dan itu artinya janjinya akan segera terbayar. Janji yang ia ucapkan kepada dirinya sendiri beberapa tahun lalu bersama bunda di sebuah mall terbesar di kota itu.
"Bagus ya bun liontin nya, Harsa suka." Kedua matanya berbinar menatap benda yang masih tersimpan apik di dalam etalase itu.
Seketika ide jahil bunda Herissa muncul saat itu."Cocok tu nak buat pacar mu gitu?"
"Harsa belum punya pacar bunda."
"Oh ya sudah buat first love mu aja. Kata orang kalau kita pertama kali jatuh cinta tapi enggak ada hal istimewa nya itu kurang, perjalanan hidup mu belum lengkap." Hingga saat ini kata-kata itu terus melekat di pikiran Harsa saat dirinya sedang berkencan dengan Dinda.
"Berarti sekarang perjalanan hidup Harsa sudah lengkap ya bunda," ucap nya seraya menatap langit yang berwarna kekuningan itu, melihat nya saja Harsa seolah mendapat dukungan bertubi-tubi.
Manik matanya menelisik sosok yang ia cari di dalam café itu. Café bernuansa vintage dan makanannya yang unik. Rasa lelah namun nan bahagia tersirat di wajah gadis itu saat pertama kali Harsa menangkapnya. Tawa nya yang renyah namun sedikit mengkoyak hati Harsa sebab tawa itu ia lontarkan kepada lelaki beralmamater di hadapannya.
Pikirannya menerawang jauh dan terngiang dengan perkataan kak Anggara tempo lalu. "Semuanya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat. Bahkan sifat tulus belum pernah lu dapat dari dia. Soal cinta memang bisa datang kapan saja, namun rasa yang datang bersamaan dengan cinta itu berbeda."
Entah dorongan dari mana diri nya hanya terus memikirkan sebuah janji dari pada perasaan yang tak kunjung datang. Setelah lelaki jangkung itu pergi melangkah keluar café, ia rasa urusan nya dengan Dinda telah usai.
Sedikit memantapkan hatinya Harsa memberanikan diri untuk menegur Dinda. "Urusan nya sudah selesai?"
Mendengar suara itu entah kenapa Dinda sedikit gugup dan bicara nya menjadi terbata-bata "A- i-iya u-udah selesai. Kenapa enggak ngabarin kalau mau jemput?"
Harsa memicing kan kepalanya "enggak biasanya kamu gini?"
"Bukan gitu, kan takut nya aku udah pulang jadi ngerepotin kamu kan?" Bela dinda.
Kening gadis itu berkerut namun bola matanya sedikit berbinar tatkala Harsa menyodorkan benda berbentuk bulan sabit itu kepadanya. Langkahnya lantas langsung mengenakan liontin itu di lehernya yang sedikit terlihat akibat seragam sekolah yang ia lepas di kancing atas.
Indah, pikiran Harsa terus berkeliaran memikirkan sang bunda yang mungkin bangga melihat putra semata wayang nya telah berhasil mengisi janji itu.
"Makasih ya, kamu pinter milih nya ini terlalu bagus." Tatapannya masih tak lepas dari benda itu.
"Seharusnya kamu ber terima kasih sama bunda."
"Kenapa sama bunda?"
"Kalung itu, bunda yang pilihin sewaktu kita lagi jalan beli kado untuk Kemala." Semuanya menjadi hening ketika nama Kemala kembali keluar dari bibir Harsa. Sudah berapa lama ia tak sadar nama itu tak pernah ia ucap. Diri nya bagai tersihir untuk seolah lupa dengan gadis itu saat ia mulai menaruh hati pada Dinda. Ia tahu itu aneh, namun mengingat kejadian beberapa hari lalu, membuat nya seolah mengiyakan tindakannya yang cukup egois.