Tujuh

3 0 0
                                    

"Di sini. Selalu di sini dan enggak akan pernah pergi.."

~~~

Hidup sejatinya memang mudah, namun terkadang ketika dihadapkan oleh beberapa pilihan semuanya menjadi terasa sulit dan berat. Terkadang pikiran ini selalu bertanya, kenapa hidup selalu dihadapkan oleh pilihan ketika kita bisa mendapatkan semuanya atau setidaknya salah satu pilihan itu dapat dengan gamblang untuk di eliminasi tanpa perasaan yang sulit.

Musuh terbesar manusia selain dirinya sendiri adalah perasaan. Ketika suatu hal sudah dihadapkan oleh perasaan semuanya terasa kalut dan runyam. Seketika itulah rasa egois terkadang dibutuhkan.

Harus berperang dengan ego dan di hantam oleh kenyataan, membuat seisi kepala gadis itu terasa akan meledak kapan saja. "Kenapa harus orang itu ya tuhan." Sudah berpuluh kali kalimat itu terus terapal seolah buntu akan jalan hidupnya kedepan. Namun sekelebat memori itu kembali datang seolah memberi setitik petunjuk akan pikirannya yang kalut.

Tangannya yang sudah tak kencang lagi terus bergerak lembut menelusuri surai legam cucu nya, guna meredakan isakan yang terdengar hebat itu. Nasibnya terlalu pahit untuk sang cucu hadapi. Segala ekspektasi yang tercipta semuanya lenyap di terpa kenyataan.

"Kemala sayang enggak sama kak Anggara?" Seketika suara memilukan itu terhenti, namun hentinya memberikan tanda tanya.

"Iya Kemala sayang sama kakak."

"Nah sekarang Kemala jangan nangis lagi ya. Karena kalau sedih, kak Anggara lebih sedih. Kemala enggak mau kan liat kakak nya sedih?" Tatapan itu berganti, menatap seseorang yang tengah bersusah payah menahan semua bulir air matanya yang sedikit tumpah. Sudut bibirnya tertarik terpaksa guna terlihat baik-baik saja meskipun hati nya menjerit. Kedua tangannya terbuka lebar seolah memberi akses kepada Kemala kecil yang tengah sedikit berlari kepadanya.

"Kakak jangan sedih, Kemala janji Kemala enggak akan nangis lagi."

"Kalau janji harus apa?"

"Ditepati."

"Kalau enggak ditepati?"

"Nanti tuhan marah."

"Diinget ya. Kemala jangan sedih lagi, kakak yakin papa sama mama pasti pulang lagi sama kita." Sedikit menahan ego nya, bibirnya terasa sangat kelu ketika harus mengucapkan hal itu. Pasalnya, ia sendiri tidak yakin apakah hari itu akan ada.

Semakin bertambahnya waktu, kekosongan itu kian meluas. Bahkan buliran air mata belum bisa membanjiri tempat yang kosong itu. Namun kian hari tempat itu tak ada tanda-tanda akan terisi kembali hingga sudah kumuh dan rayap. Pemilik tempat itu sudah menelantarkannya.

"Sampai kapan ini?" Matanya terhenti dari lamunan yang panjang itu tatkala telinganya menangkap suara dingin sang suami. Raut wajahnya jauh lebih datar persis seperti hari itu, ia mengerti lelaki ini sudah muak dengan semuanya. Namun hati kecil nya menolak dan seolah membiarkan nya buta akan apa yang ia tangkap. Ia tidak ingin seperti dirinya yang dulu.

"Sudah tenangkan dulu diri mu itu. Bagaimanapun mereka cucu kita."

"Sudah dua tahun saya berusaha membiarkan semuanya. Sekarang biarkan mereka pulang."

"Pulang kemana. Apa maksud mu itu?"

"Mereka masih punya rumah kan, yasudah itu tempat mereka pulang."

"Rumah bukan selalu soal tempat. Tapi yang mereka butuhkan kasih sayang dan kenyamanan, bukan kesepian dan kekosongan."

"Mereka sudah kosong sejak hari itu, jangan terlalu berlebihan kamu," finish nya mengakhiri semua permainan itu. Semua sudah kokoh tak bisa digoyangkan. Ira hanya pasrah menuruti sifat keras kepala Birawa, suaminya.

Pergi |HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang