Dua

12 3 0
                                    

~~~

Sudah lelah Harisa terus membujuk anak lelaki itu yang hanya diam dengan tatapan kosongnya dan genggaman tangan yang semakin ia eratkan seolah mengajak paksa sang adik untuk terbangun. Bibirnya sudah pucat dan matanya sudah sangat sembab, sangat terlihat perbedaan kontras saat ia di sekolah beberapa jam yang lalu.

"Anak-anak, makan dulu yuk sama bunda," ajak wanita yang sudah berkepala empat itu. Ah, lagi-lagi ia hanya bayangan yang ada disitu. Anggara sama sekali tak melepas pandangannya dari arah Kemala sejak tadi, begitu pula dengan Harsa. Baju yang mereka kenakan kini mungkin sudah sangat sulit untuk di cuci akibat darah yang sudah mengering terlalu lama, namun mereka sama sekali tidak merepotkan hal itu.

Jiwa Anggara benar sedang terdiam di rumah sakit itu, namun tidak dengan pikirannya yang sudah melayang jauh beberapa tahun sebelumnya. Tahun tersulit di dalam hidupnya dimana ia mulai di permainkan oleh takdir.

"Maaf ma, papa enggak bisa," ucap lelaki yang usianya baru menginjak kepala empat itu dengan posisi yang telihat memohon kepada wanita dihadapannya. Seolah paham dengan perkataan singkat suami dihadapannya itu ,Nerissa hanya bisa berkata "sekiranya papa tetap mau sama keputusan awal kita. Kita jalanin pa. Terima kasih sudah mau bertahan demi anak-anak. "

Sudah lima tahun ruangan yang dulunya hangat akibat cinta yang begitu besar kian harinya, kini menjadi ruangan yang dingin dan selalu mencekam. Candaan yang biasa hadir dan mewarnai setiap waktu ia di tempati, kini seperti ruangan kantor yang selalu dipenuhi perbincangan formalitas. Sudah lima tahun pula, Anggara memakai topeng di wajahnya dan salah satu kuping yang selalu mengintip ke arah ruangan itu.

Namun hari itu aksi menguping yang Anggara lakukan mungkin untuk terakhir kalinya. Dan aksi ini tidak seperti biasanya yang selalu berakhir dirinya termenung, namun kini berakhir dengan tusukan belati yang menancap dadanya berkali-kali. Sulit baginya untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh dari pelupuk matanya.

Putri kecil itu terlihat sangat lucu dalam tidurnya, sesekali ia mengerang dan tersenyum kecil. Narissa ingin bertanya pada sebuah mimpi itu, seindah apa di dalam sana. Alih-alih membangungkan dan mengajaknya makan siang, ia justru ikut berbaring di sisi Kemala kecil. Otaknya kembali bergelut dengan keputusan yang akan ia ambil bersama Johny, suami nya.

"Sayang, bangun yuk." Dengan menusuk pipi yang mungil itu, Kemala langsung terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk melalui sela-sela bulu matanya yang lentik untuk ukuran anak seusianya. Sudut bibirnya lantas tertarik saat matanya menangkap siapa sosok di samping nya itu.

"Mama endak bobo, kok mukanya mela semua?" mendengar pertanyaan dari putrinya itu, Narissa merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia lupa untuk mencuci wajahnya terlebih dahulu, setidaknya itu sedikit menyamarkan kemerahan di wajahnya akibat menangis tadi.

"Mama baru bangun nak," ucapnya dengan sedikit senyum yang dipaksa.

"Kemala langsung ke bawah ya, papa sudah nunggu disana." Kemala hanya mengangguk sebagai jawaban dan sedikit berlari saat mendengar kata 'papa'. Ia sangat merindukan sosok itu, sebab belakangan ini papa nya selalu pulang hingga larut malam.

"Hey jagoan mama sudah bangun?" tanya Narissa kepada putranya yang terlihat baru keluar dari kamar kecil itu. Setelah ia sedikit berlari dari kamar orang tuanya, Anggara langsung menuju kamar mandi yang terletak di kamar tidur nya itu. Bukan hanya sekadar untuk mencuci mukanya yang sembab akibat tangisan yang tak tertahan, namun ia selalu melampiaskan semua kesedihannya dengan melihat air yang mengalir deras. Ia merasa semua air yang keluar dari saluran itu seperti masalahnya yang berangsur-rangsur akan mengalir lalu hilang entah kemana, meskipun kenyataanya tidak semudah itu.

Pergi |HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang