"Terima kasih, entah untuk apa..."
~~~
Kemeja yang sudah mengering dan terlihat lecak menandakan segala rasa trauma itu telah hilang. Namun tangan kekar nya terasa kebas akibat harus menopang tubuh gadis itu yang tertidur di dekapannya. Tak apa selagi ia tak terganggu dan dirinya sudah kembali tenang. Langit sudah menunjukkan tanda-tanda akan datangnya malam namun Anggara belum menunjukkan tanda-tanda ia akan pulang. Entah apa yang menahannya di sana.
Seluruh benang kusut yang sejak tadi bersarang di benak Harsa seketika lenyap ketika gadis itu mulai bergerak kecil. Matanya yang masih sembab dan sendu lantas segera bertemu dengan manik Harsa yang seterang langit petang. Entah tubuh itu terlalu nyaman bagi Kemala, atau memang dirinya yang masih di ambang kesadaran sebab dekapan itu tak kunjung ia lepas.
"Gimana perasaanya?" Tangannya bergerak menepis anak rambut yang menutupi wajah gadis itu.
"Sudah berapa lama?"
"Enggak apa-apa, baru dua ja-
"Sudah seratus hari Harsa, lu salah bukan dua jam." Mendengarnya membuat perasaan bersalah kembali mengerebungi segala benang kusut yang bersarang sejak tadi. Benang-benang masalah yang bertemu dengan masalah yang lainnya, benang yang banyak menyimpan sejuta kemungkinan dan sejuta kekecewaan. Harsa tidak bodoh, ia paham. Namun hati kecilnya yang bodoh.
"Maaf." Hanya satu kata yang umum dan sudah kehilangan maknanya. Harsa hanya mampu sampai kata itu.
"Cukup, bagi gua dua jam tadi cukup buat maaf lu selama seratus hari. Makasih dua jam nya." Gadis itu beranjak melepaskan dekapan yang telah lama tidak ia rasakan. Mungkin ia sedikit berterima kasih pada keadaan, meskipun agak kejam namun pada akhirnya ia bisa kembali kepada lelaki ini.
Tubuh itu kembali bergerak gelisah saat samar-samar kupingnya kembali menangkap suara yang menyeramkan. Suara yang pernah mendominasi telinganya akibat memekik keras dan mengiringi pukulan yang tertanam di perutnya. Setelah beberapa tahun, kenapa ia kembali harus mendengar suara itu. Kenapa semesta benar-benar tak mengizinkannya untuk beristirahat barang sekali.
.
.
.
"Jen lo pernah kepikiran engga-
"Gue enggak pernah mikir, jadi jangan nanya sama gue."
"Dih galak cem cewek PMS." Bibir mengerucut kedepan dengan menyilangkan tangannya di depan dada dan berteriak, "gue marah."
"Bagus deh, yang lama marahnya biar hidup gue tenang."
"LEE JENO!!" Basah, wajah tampan kebanggaan seorang Na Jaemin sudah mengalir deras semburan kopi hitam yang berasal dari mulut lawan bicaranya. Dugaanya hanya dua, sengaja atau jeno seorang yang mudah terkejut. Namun ia kembali ingat, saat lelaki itu tengah masak untuk makan malam mereka dan dengan pikiran liciknya ia mengejutkan dengan suara nya yang aneh namun tak ada reaksi apapun. Ia paham kesimpulannya.
"Sengaja, biar lo nambah pundung." Setelahnya Jeno membiarkan seorang Jaemin yang setengah basah di tengah dinginnya malam. Lantas ia menidurkan tubuhnya di sebuah kamar yang cukup luas tempat keduanya menetap selama di Indonesia.
Blam~
Belum sempat matanya tertutup rapat, lagi-lagi ia dikagetkan oleh dentuman pintu yang cukup keras. Sudah pasti anak itu akan mengamuk malam ini. Tak apa, ia rindu tertidur dengan tenang tanpa tendangan kaki yang mungkin berasal dari mimpi sedang bermain sepak bola.
"Lo tadi mau ngomongin apa?" Jeno menyerah.
"Pundung."
Lelaki itu beranjak dari tidurnya sembari menghela napas gusar dan menggeret seseorang yang tengah tertidur membelakanginya di ubin.