Siap yang mereka lindungi, Yang Mulia?
Pembunuh sang kaisar!
*******
Pangeran Shi terbangun dari pembaringan, napas terengah, peluh membasahi jubah putih tipis dengan motif phoenix keemasan, rambut menempel pada pipi, kekhawatiran tiba-tiba menyusup pemikiran. Mimpi macam apa itu? Hati sang pangeran bertanya-tanya. Istana yang ia tinggali perlahan menimbulkan keresahan.
Seseorang tengah mengawasi. Si pemilik pengait emas di kepala mengedarkan penglihatan. Ia meraba pembaringan, mencari keberadaan sang raja. Kosong! Tidak mungkin! Tidak satu kali pun sang raja meninggalkan sang pangeran sendiri walaupun satu jengkal.
Pangeran Shi bergegas bangun, membuang selimut hingga tersibak tidak beraturan. Ia menuruni ranjang, membawa kaki pada langkah cepat, keinginan untuk bertemu sang raja sudah berada di ujung kepala. Sang pangeran menyambar jubah luar, mengenakan asal, menyusuri lorong kecil, penghubung antar ruangan dengan tirai berkelebat bersama embusan angin.
Langit sedang tidak bersahabat. Guyuran hujan terlihat deras, petir menyambar bersahutan, membuat tubuh meremang ketika pendengaran dipenuhi suara-suara aneh. Pangeran Shi mempercepat langkah, melihat ke segala arah, menuju koridor utama dengan pilar-pilar besar sebagai penyambut.
"Raja Bai! Yang Mulia! Ini tidak lucu!" Sepi, seluruh istana serupa tidak berpenghuni. Ia memanggil nama orang terkasih sekaligus jenderal besar yang selalu melakukan penjagaan.
Tidak mungkin! Apakah sang pangeran tengah sendiri? Si pemilik netra kecokelatan berlari, menyusuri liku dan belokan emperan kamar. Napas terengah-engah, pemuda manis itu mulai hilang kendali. Ia serupa terhimpit pada ruangan tanpa udara. Sesak, teramat kesulitan mengisi paru-paru, Pangerang Shi terkulai lemah. Tubuh penuh peluh dengan wajah memucat terbaring pada permukaan lantai bersama suara-suara samar yang terus-menerus memanggil nama si pemilik pengait emas di kepala.
"A-Ying, bangun! A-Ying, buka matamu, Baobae! Pangeran Shi!" Membuka kelopak mata dengan cepat, berusaha menetralkan napas, memegangi dada sembari menoleh pada sosok yang ia cari beberapa saat lalu sekaligus mendudukkan diri dengan terburu-buru, sang pangeran mengulurkan tangan, menyentuh pipi sang raja bersama kelegaan yang mulai merajai.
Raut muka cemas sekaligus netra menelisik seluruh wajah, membaur dengan embusan napas lega, sang raja menarik tubuh sang pangeran dalam pelukan. Raja Bai memohon sekaligus mengulang kata maaf ketika meninggalkan pemuda itu sendiri pada perpotongan malam.
Sang raja mamangku tubuh si pemilik netra kecokelatan, menarik dagu, mendaratkan ciuman lembut pada bibir, begitu lembut hingga mata ikut berair. Takut, gelisah, merasa tidak tenang, mimpi serasa begitu nyata. Bayangan kesendirian membuat Pangeran Shi merasa berada di dunia yang berbeda.
"A-Ying," sang raja melonggarkan pelukan, "sebenarnya apa yang membuatmu tidur di depan aula kamar peristirahatan raja terdahulu?" Pangeran Shi melebarkan kelopak mata, mencengkeram jubah tidur sang rasa, bola mata bergerak-gerak gelisah, bibir sedikit bergetar bersama air mata yang meluncur kian deras.
Pangeran Shi memalingkan muka, melepas pelukan, turun dari pangkuan, menuruni pembaringan bersama perasaan aneh yang mengelilingi. Ia bermimpi atau tengah berada pada situasi nyata. Pemuda manis itu memejamkan mata, memeluk tubuh sekaligus mengusap lengan secara berulang.
Tidak tahu dan tidak bisa menjawab, orang terkasih raja tidak bisa menggunakan pemikiran dengan benar. Sebenarnya, hal apa yang baru saja ia lalui? Si pemilik senyum manis memutar tubuh, menatap sang raja yang sejak tadi mengikuti pemuda itu dari belakang.
"Yang Mulia, apa kita berada di tempat yang benar?" Pangeran Shi mendekat perlahan. Mata tidak pernah lepas dari sosok di hadapan. Tidak ingin berjauhan, ia serupa anak kecil pada sang ayah. Bagaimanapun, kilasan bunga tidur tersebut serupa momok menakutkan.
"Jangan meninggalkanku, jangan pernah, Yang Mulai. Tidak satu kali pun. Bahkan jika itu hanya satu jengkal. Aku tidak suka!" Pangeran Shi menjauh dari kamar, menuju pada balkon bersama tetesan sisa-sisa hujan. Dingin menampar kulit, si pemilik pengait emas di kepala menikmati sensasi membekukan bersama aroma tanah basah.
Raja Bai menatap punggung sang kekasih, tidak ingin menggangu. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah hilang ketika Pangeran Shi berada dalam situasi tidak mengenakkan. Sang raja menutup pintu kamar, menuju meja rendah dengan beberapa lembar kertas berisi sebuah pengumuman.
Titah raja pada seluruh duduk Kerajaan Phoenix. Meminta siapa saja yang mampu dan sanggup menjadi pelindung kerajaan, agar sesegera mungkin menghadap jenderal besar untuk menjadi seorang prajurit istana sekaligus menguji kemampuan diri.
Ketika matahari tengah berada di ufuk timur, seluruh pelosok lingkar kekaisaran tengah memperoleh lembar pengumuman, dari golongan kasta menengah hingga strata paling atas. Penduduk berbisik, beberapa tertarik, sebagian yang lain memilih mundur karena tidak ingin memaksa kemampuan.
"Bukankah istana telah memiliki seorang jenderal besar?" Perbincangan salah seorang penduduk desa pada kedai makan di salah satu pusat kota, mengalihkan perhatian seorang pemuda yang tengah memakai tudung kepala.
"Tsk! Ada beberapa hal yang tidak kalian ketahui. Sang raja tengah mencari pengawal pribadi untuk Pangeran Shi." Salah satu dari pengunjung kedai menggerakkan jemari, meminta tiga orang yang lain mendekat hingga wajah berjarak sangat dekat. Si pengunjung melihat ke sekitar lalu melanjutkan ucapan.
"Desas-desus yang aku dengar, ada penguntit yang sampai sekarang belum bisa ditemukan keberadaannya. Bahkan, penyusup itu sering kali mengunjungi kamar sang pangeran." Si pengunjung menegakkan punggung, meminum arak, lalu melanjutkan makan.
Beberapa pengunjung kedai, tanpa mereka ketahui telah mencuri dengar. Mereka mengangguk-angguk, berbisik dan membicarakan perihal situasi di istana yang sampai sekarang tidak mereka ketahui.
"Ah, satu lagi. Menurut beberapa pengantar sayur dan juga pelayan yang pernah bertemu dengan pangeran, wajah Pangeran Shi dengan mendiang Pangeran Moran hampir serupa." Si pemilik tudung terkesiap, meremas cangkir arak hingga pecah, membuat perbincangan beberapa pengunjung terhenti.
"Menarik!" Sang pemakai tudung merogoh jubah, mengambil beberapa keping uang, meletakkan pada meja, lalu meninggalkan kedai bersama senyum misterius, membawa langkah pada gerbang istana timur yang membuat angan manis kembali hadir ketika nama seseorang yang ia simpan, kembali menyapa pendengaran.
"A-Ran. Sepertinya, ada yang sudah memulai pertarungan tanpaku. Mungkin, aku terlalu menikmati kesendirian hingga lupa bahwa ada tempat yang perlu aku kunjungi." Pedang kian erat menempel pada genggaman. Pemilik cinta tanpa kenal batas tengah memantapkan hati untuk kembali memasuki lingkar istana, membawa luka sekaligus cinta hingga ambisi dan rasa penasaran bisa terobati dengan segera.
********
"Pangeran Shi, bunga biru yang Anda minta sudah berada di wadah bersama beberapa pelayan." Jenderal Feng menunduk lalu mendekati sang pangeran yang tengah membaca lembaran buku-buku tebal.
"Jenderal Feng, siapa orang terdekat mendiang Pangeran Beitang Moran?" Menunduk dalam, mengepalkan jemari kuat-kuat, ketakutan pada sebuah kisah di masa lalu, membuat si pemilik netra abu terdiam sekaligus tidak mampu menjawab tanya yang seharusnya sangat mudah untuk jenderal tersebut utarakan.
"Apakah Jenderal Han Mu Bai masih hidup?"
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Flower 2 "Ambisi!"
RomanceBai Li Hong Yi Shi Ying Han Mu Bai R 18+ fanfiction