Aula pelatihan dipenuhi beberapa calon prajurit. Satu hari setelah pengumuman dilakukan, beberapa pemuda berdesak-desakan bersama harapan besar untuk menjadi seorang pengawal pribadi sang pangeran.
Tubuh penuh peluh, mencoba kemampuan, melawan tanpa ada perlindungan bersama benda berujung tajam di genggaman. Hampir separuh lebih memilih menyerah, tidak mampu melawan, tidak bisa membalas serangan, Jenderal Feng serupa manusia tanpa cela. Tenaga yang ia miliki tidak sedikit pun terlihat terkuras.
Denting pedang memekakkan pendengaran, bersentuhan, beradu gesekan, mencari titik lemah meskipun susah payah telah dilakukan. Pelipis seperti menjerit, mengeluarkan peluh hingga basah serupa tenggelam pada kolam.
"Berapa yang tersisa?" Jenderal Feng melihat pada salah satu prajurit, mengabaikan sepasang mata yang tengah melihat pemuda itu dari kejauhan seraya tersenyum kecil. Ia menggerakkan kaki, mendekat bersama buku di tangan, Pangeran Shi meminta Feng Hao Xing mengehentikan pertarungan untuk sesaat.
Seluruh prajurit dan beberapa pemuda yang masih bertahan, tidak mampu mengalihkan tatapan mata pada sosok menawan dengan jubah putih sekaligus hiasan keemasan yang mengaitkan masing-masing tepian jubah. Kaki melangkah perlahan, bersaing dengan kecepatan kelopak magnolia dari permukaan ujung ranting.
Anggun dan tidak memiliki kecacatan, pemilik paras manis mengabaikan tatapan memuja yang tengah diarahkan pada pemuda manis itu. Feng Hao Xing meninggikan suara, meminta para prajurit untuk menunduk sekaligus menyeret paksa beberapa pemuda yang masih menatap fokus pada sosok pangeran menawan.
Riuh sekaligus merasa tidak terima, mereka sedikit melawan bersama rasa tidak rela ketika berjauhan pada sosok di hadapan. Jenderal Feng terpaksa mengeksekusi beberapa pembangkang hingga membuat sebagian yang lain memilih menurut sekaligus diam pada pijakan.
"Kepala terpenggal atau menurut!" Hening menguasai, si pemilik senyum manis mengusap lengan sang jenderal, mengalihkan penglihatan hingga dua netra pemuda itu saling tatap.
"Jangan terlalu keras, mereka manusia normal, bukan? Jika kamu tidak bisa menunduk ketika berhadapan denganku, mereka pun tidak melakukan hal yang salah, bukan?" Feng Hao Xing mengembuskan napas lelah, menarik lengan sang pangeran hingga buku pada tangan terjatuh, menjauh dari kerumunan, mengarahkan tungkai kokoh pada ruangan khusus, tempat para prajurit mengistirahatkan penat.
"Cukup panggil penjaga atau pelayan jika memerlukan sesuatu, Yang Mulia! Hamba tidak suka jika mereka menyentuh Anda walaupun sekadar tatapan mata!" Cemburu? Tidak mungkin, bukan? Feng Hao Xing mengusap wajah kasar, memunggungi sang pangeran, menetralkan napas ketika marah menjadi penguasa hingga nyaris tidak bisa menahan diri.
"A-Hao," si pemilik netra kecokelatan mendekat perlahan, menyentuh bahu sang jenderal, tersenyum tipis, menggerakkan jemari pada pipi pemuda itu, "kendalikan atau pergi!" Hanya itu. Kalimat singkat, tetapi serupa titah. Pangeran Shi meninggalkan aula khusus peristirahatan para prajurit, menuju tempat pelatihan bersama kalimat singkat.
"Patuh, dan kalian akan mendapatkan posisi yang tidak bisa dianggap remeh. Hanya satu orang, selebihnya akan menjadi prajurit garis depan bersama Jenderal Feng." Meninggalkan para prajurit dan para pemuda setelah memberikan titah, pemilik paras manis menjauh, membawa langkah pada pijakan teratas sekaligus menetralkan detak jantung yang berpacu cepat ketika melihat raut wajah si pemilik netra abu.
"Tidak, tidak, tidak, dia harus meluapkan perasaan yang ia miliki." Menyusuri koridor utama, menuju tempat sang raja, ingin menumpahkan rasa takut ketika orang-orang di sekitar selalu memberikan tatapan memuja.
"Raja Bai!" Pintu telah pangeran buka secara kasar, mengabaikan beberapa petinggi yang berada dalam ruangan, mendekat cepat, lalu menghamburkan tubuh pada pelukan sang penguasa.
Terengah-engah, memeluk erat, mendekap sekaligus menarik tengkuk sang raja hingga dua pemuda itu hampir saja berciuman. Sang raja mencoba menahan diri, mengibaskan lengan seraya meminta para pejabat keluar ruangan. Raja memerintah, menyuruh pengawal melakukan penjagaan ketat dan menghalangi siapa pun yang memaksa masuk.
"Aku menginginkanmu, Yang Mulia." Mencium paksa, mendorong tubuh sang raja hingga membentur permukaan meja, pangeran manis tiba-tiba merindu di tengah rasa takut pada sosok pemuda yang selalu memberikan penjagaan pada tubuh Pangeran Shi di tengah kesibukan sang penguasa kerajaan.
Terheran-heran, melonggarkan pelukan, menatap netra sembab si pemilik senyum manis hingga tanya terlontar tanpa ada persetujuan, sang penguasa kerajaan membawa tubuh sang kekasih pada gendongan, menuju ranjang yang berada di balik sekat ruang pertemuan khusus dengan kamar pribadi Raja Bai.
mendudukkan tubuh kecil sang pangeran pada kepala ranjang, melepas pengait pada tepian jubah, menelusupkan jemari kokoh pada bahu sang kekasih hingga lenguhan lirih membuat hasrat naik hingga ke kepala.
"Baobae, maaf, mungkin akan sedikit kasar." Tidak peduli dan enggan menanggapi, sang pangeran membutuhkan pemuda itu, sentuhan dan gigitan gemas, membuat tubuh si pemilik pengait emas di kepala bergerak tidak beraturan.
Mendesah pasrah, menyatukan dua tubuh seiring entakan kasar, menerobos liang surga bersama tiang langit seorang raja pada percintaan panas yang membuat raga terus-menerus meminta sentuhan.
Cinta macam apa yang membuat manusia lupa diri hingga mengabaikan sebuah status kepemilikan? Sang jenderal pada sang tuan, seorang raja pada sang keponakan, pemilik marga Han yang terobsesi pada sosok manis, kekasih seorang raja dan menganggap kemiripan wajah adalah takdir yang tertunda.
Milikku!
*******
"Sudah menemukan siapa yang pantas menjadi pelindung pribadi sang pangeran?" Raja Bai membuka perbincangan pada rapat petinggi kerajaan. Menunggu jawaban, menanti kehadiran, meminta sang jenderal membawa masuk sosok pemuda yang berhasil memenangkan pertarungan.
Sosok gagah dengan kumis tipis, alis menukik, tetapi memiliki netra yang memancarkan kelembutan, misteri, sekaligus mengancam, tengah mengalihkan perhatian sang raja. Ia mengangguk sebagai tanda persetujuan, meminta si pemuda memperkenalkan diri pada semua penghuni aula pertemuan.
"Han ... Liu Wei, Yang Mulia."
Semakin dekat hingga tubuhmu seperti berada dalam pelukanku, A-Ran.
*******
"Menjauh atau aku berteriak?!" Pangeran Shi berlari menjauh, menghindari sosok menakutkan di hadapan. Napas terengah-engah, mencari sesuatu yang sekiranya bisa ia jadikan untuk mengancam.
"Berhenti di situ!" Masih tidak menyerah, pangeran manis berteriak semampu yang ia bisa, mengabaikan gerakan lambat yang justru terasa memojokkan. Si pemuda mendekat bersama raut wajah menakutkan. Sang pangeran kebingungan, mencoba keluar dari ruangan asing yang terasa memusingkan.
"Apa salahku, Tuan? Biarkan aku pergi." Nada putus asa menjadi hal terakhir yang mampu pangeran ingat sebelum tubuh menjadi hilang kendali atas kekuatan bertumpuk pada lantai ketika rasa takut menjadi pemeran utama.
"Bagaimana ini? Aku tidak bisa, A-Ran. Tidak bisa." Si pemuda menyambar tubuh terkulai sekaligus hilang kesadaran milik sang pangeran. Terbahak, menyentuh pipi seraya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi mata.
"Apakah rasanya masih semanis dulu, Baobae?" Ciuman kasar menjadi pengiring malam bersama kelabu awan yang kian menebal hingga tangisan langit menyusul setelahnya.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Flower 2 "Ambisi!"
RomanceBai Li Hong Yi Shi Ying Han Mu Bai R 18+ fanfiction