Runtuh dan tidak bisa disatukan, harga diri sedang dipertaruhkan, ketenangan tidak lagi diperoleh, Pangeran Shi enggan bergerak, menutup tubuh dengan jubah luar ketika dingin mulai mendekat. Tempat asing sekaligus pengap, menjadi hunian tetap ketika istana sedang berada jauh dari jangkauan.
Entah sudah berapa lama, tidak lagi mampu terhitung, sang pangeran terkurung bersama manusia dipenuhi obsesi. Ia memilih diam sekaligus pasrah ketika hari-hari dilalui serupa budak pembaringan. Mati dan ingin lenyap menjadi fokus pemuda itu. Namun, seolah-olah mampu terbaca, segala bentuk benda berujung tajam dan tali panjang pengikat, sudah lebih dulu di jauhkan.
Air mata meluncur deras, menemani tubuh penuh tanda kepemilikan sekaligus memar kebiruan ketika perlakuan kasar pada saat melakukan penyatuan paksa. Han Liu Wei, pengawal pribadi sang pangeran yang membawa pemuda itu keluar istana ketika penjagaan telah lengah.
Tunggu! Bagaimana mungkin bisa lengah semudah itu? Pangeran Shi duduk perlahan, mencoba menggerakkan tubuh, turun dari pembaringan bersama rasa jijik sekaligus marah yang hanya mampu ia simpan sendiri.
Kamar mandi sempit dengan bak mandi kayu berukuran sedang, menjadi teman setia ketika rasa lengket membuat tubuh terasa tidak nyaman. Serupa pesuruh pada sang pemilik, ia melalui pagi dengan kegiatan yang sama, aroma yang sama, rasa sakit yang sama.
Menjadi pendamping secara paksa, membersihkan rumah hingga melayani urusan ranjang dan tidak diperkenankan untuk menolak ataupun melawan. Hancur hingga tidak ada yang tersisa. Bahkan, seandainya Pangerang Shi berhasil keluar, pun hanya ada satu tujuan di kepala, sebuah kematian.
"Ah, A-Ran, maaf meninggalkanmu sendiri." Han Liu Wei memeluk si pemuda dengan posesif, mengendus leher, menghirup aroma lily ungu dari tubuh sang pangeran. Rasa tidak karuan, tenggelam pada lautan nista hingga si pemiilik netra kecokelatan telah lupa cara berenang ke permukaan.
"Tuan Han Liu Wei, sampai kapan Anda akan menahanku?" Pangeran Shi menoleh, melepas pelukan secara perlahan, menyingkirkan lengan yang menyentuh setiap inci pada tubuh kekasih sang raja. Gelengan menjadi jawaban, kekehan lirih mengiringi, pelukan kasar menjadi penyambut hingga tubuh terasa remuk setiap saat.
"A-Ran! Kamu milikku dan selamanya akan selalu begitu!" Han Liu Wei mencengkeram rahang si pemuda manis, mencium paksa, memeluk lebih erat bersama dorongan kuat hingga punggung membentur dinding kayu.
"Tuan!" Mencoba melawan, mengusap bibir dengan lengan jubah, susah payah melepas rengkuhan pada tubuh hingga napas terengah-engah.
"Aku bukan Pangeran Moran, Jenderal Han Mu Bai!" Netra membola, tubuh bergetar, kaki mundur perlahan, jemari mencengkeram tepian meja ketika nama sang pemilik hati telah diserukan secara lantang. Sekaligus ... identitas yang sejak lama ia buang jauh-jauh dari kehidupan.
"Berhenti bersikap tidak waras! Aku Shi Ying! Bukan Pangeran Moran!" Mendudukkan diri pada permukaan lantai kayu, mencengkeram kepala, menangis sekali lagi ketika rasa lelah sudah sepenuhnya menguasai. Si pemilik netra kecokelatan berharap semua adalah mimpi, mencoba menutup mata, menyakiti diri sendiri agar segera berhadapan dengan Sang Penguasa Semesta.
Si pemilik pengait emas di kepala sudah berada pada titik putus asa. Ia menyandarkan tubuh sedikit miring hingga pelipis mencium dinding kayu. Terlalu menguras tenaga, terlampau menyiksa rasa, berlebih dan terlihat menggelikan ketika wajah serupa telah menjadi sebuah malapetaka.
"Aku merindukan rajaku, menginginkan kekasihku, meminta belas kasih agar diri mampu berjumpa pada sang penguasa sanubari. Tidak bisakah satu detik saja, hanya sesaat, sedikit kesempatan agar luka tidak kian membesar?" hanya mampu berucap lirih, memeluk lutut, mengabaikan penampilan tidak beraturan bersama tatapan terluka sang jenderal pada si pemuda.
"Aku memiliki cinta lebih besar dari Raja Bai, A-Ran. Aku---"
"Aku bukan Pangeran Moran! Tidak bisakah kamu mengerti! Memanggil namaku saja tidak bisa kamu lakukan dengan benar!" mengerang frustrasi, melempar apa saja di sekitar yang sekiranya mampu ia gapai, Pangeran Shi sungguhan lelah. Berikan pemuda itu kesempatan untuk bergerak. Tidak adakah jalan keluar selalu menunggu kelengahan dari sang jenderal?
Pagi bergerak cepat seraya menarik malam agar menggantikan. Tidak ada hal baik yang didapatkan. Serupa tahanan pada sangkar tirani. Sementara itu, pada lain pihak, seorang penguasa tengah mengumpulkan para pemikir pintar bersama seluruh pasukan garis depan, menuju titik lokasi yang sudah ditentukan, menunggu malam merajai bersama raungan tertahan.
"Lakukan sehalus mungkin. Pastikan tidak ada manusia yang melihat ataupun melintas. Pangeran harus berada di hadapanku sebelum pagi." Raja Bai tersenyum miring. Raut wajah menakutkan telah terlihat. Sosok raja agung sekaligus bijak, serupa iblis dengan tanduk api menyala-nyala.
Beberapa masa dihabiskan untuk mencari, mengutuk diri, melontarkan kata maaf ketika lengah melakukan pengawasan, sang raja mati-matian menahan teriakan dan amukan. Ia memilih berkonsentrasi seraya mencari hingga sebuah jawaban berhasil Raja Bai dapatkan.
"Pastikan Tuan Han Mu Bai mendapatkan hukuman sepadan, Jenderal Feng." Malam itu, ketika semua memilih fokus pada pemberontakan separuh penduduk Xiaongnu---desa terkuat dengan dua pemimpin muda pemilik kekuatan magis yang tengah menghilang tanpa jejak---sang raja menyerahkan keselamatan si pemilik pengait emas di kepala pada seorang pengawal setia yang baru beberapa bulan berada di sisi Pangeran Shi.
Jenderal Feng memimpin pasukan. Raja Bai mengawasi titik pemberontak bersama beberapa prajurit garis depan. Ratusan anak panah memelesat, denting pedang bersahutan, beberapa surai hitam tersungkur pada tanah ketika sang tuan menerima lesatan anak panah.
Namun, ketika pasukan utama bersiap-siap untuk menyerang, seluruh pasukan musuh memilih mundur, menghalau laju kuda agar menjauh, menyisakan beberapa pemuda dengan salah satu memegang gulungan kertas.
"Kenapa penduduk Xiaongnu tiba-tiba menyerang kerajaan?" Tidak ada jawan, tiga pemuda yang tersisa, melihat satu sama lain, menengadah, menatap pada netra sang jenderal yang masih berada di atas kuda.
"Hidup Jenderal Han Mu Bai!" Gulungan kertas dilempar ke arah sang raja bersama sayatan dalam pada leher ketika tiga pemuda itu memilih mengakhiri hidup.
Terdiam beberapa saat, sang raja mengibaskan lengan, menghancurkan kertas hingga menjadi bagian-bagian kecil. Ia meminta seluruh pasukan yang tersisa kembali ke kerajaan, secepat langkah kuda bersama kecemasan yang berada di ujung kepala.
Tidak ada waktu untuk marah, Raja Bai dikuasai penyesalan. Ia menghalau laju kuda hingga menerjang apa saja tanpa kenal ampun. Jenderal Feng mengerang frustrasi, merasa bodoh ketika pemberontakan hanya sebuah pengalihan. Ketika serangan terlihat meyakinkan, justru penyesalan menjadi hasil setelahnya.
"Jenderal Feng," Raja Bai menepuk bahu si pemilik netra abu hingga memecah angan pahit, "jika ingin membayar penyesalan, lakukan perintahku tanpa ada kesalahan. Sepadan, bukan?" Senyum miring, tatapan angkuh, kemarahan tertahan terlihat jelas hingga aura gelap serupa mendung kelabu pada sosok sang penguasa kerajaan.
A-Ying, bukankah semua perkataanmu terbukti salah? Aku berlaku lembut terhadap rakyatku dan sekarang salah satu dari mereka memanfaatkan itu. Bukankah kebengisan lebih menjanjikan dari sebuah pengampunan?
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Flower 2 "Ambisi!"
RomanceBai Li Hong Yi Shi Ying Han Mu Bai R 18+ fanfiction