Permainan Takdir

1.1K 130 15
                                    

.
.
.
.
.

Pria bermanik hitam melangkahkan kakinya di lorong sepi. Suara yang menemaninya hanyalah decit kayu yang ia injak. Penampilannya pun jauh dari kata rapi, kemeja putihnya penuh dengan tanah dan noda darah yang mengering. Suguru menghela nafas, pandangannya ia arahkan pada rembulan yang tertutup awan. Persis seperti kalutnya pikiran pria itu.

Tujuh, tidak, sembilan orang berpulang menghadap Pencipta-nya hari ini di tangan seorang Geto Suguru. Ini adalah kali pertamanya dalam misi ia melakukan hal yang sangat amat ia hindari. Mual. Rasanya perut Suguru seperti dikocok melihat pemandangan penuh darah dan erangan penuh agoni ditambah kata-kata yang mengutuknya agar cepat menyusul mereka.

Meskipun Shoko sudah berkata kalau itu semua adalah resiko berada di garis perkerjaan ini, ia tetap bertarung dengan egonya sendiri. Ia tak ingin membunuh orang lain. Hah, mimpi. Menjadi seorang pengguna teknik jujutsu bukanlah hal yang patut disyukuri.

Direnggut dan merenggut.

Itulah roda takdir yang harus dijalankan, melindungi apa yang 'benar' bagi mereka dan mengeliminasi yang 'salah'. Para shaman itu berjalan di jalur pendosa, mustahil untuk tangan mereka tetap bersih. Seperti hari ini contohnya, Surugu merenggut nyawa yang lain untuk melindungi sahabat dan dirinya sendiri. Namun, para pengejar itu juga tidak salah. Mereka hanya melindungi apa yang harus mereka lindungi karena Satoru dan Suguru merenggut sang wadah dari mereka. Tolak ukur dari perbuatan yang 'benar' dan 'salah' menjadi satu pertanyaan besar di kepala Suguru.

Ironis.

Langkah pria itu terhenti di depan sebuah pintu. Tangannya ia ulurkan untuk mengetuk namun kalimat pria pemilik kamar itu terngiang di kepalanya.

"Suguru, pernahkah kau berfikir untuk membunuh orang, bukan kutukan? Maksudku, apa rasanya dicap sebagai seorang pembunuh?"

Sebuah tawa dengan nada meringis melewati celah bibir pria itu, "Rasanya menjijikkan, Satoru,"

Tangannya sudah kotor. Ia tidak mempunyai hak untuk menyentuh sosok Gojo Satoru yang masih bersih. Ia tidak mau sosok itu ikut ternoda karena bersamanya. Segera ia urungkan niat untuk mengunjungi pria bermanik langit yang entah sudah sadar atau belum akibat melakukan perpindahan jarak jauh tadi siang.

"Ngapain ketawa sendirian di depan kamar orang? Seram tahu," kehadiran pemilik kamar dengan kaus lengan panjang berwarna putih dari balik pintu mengagetkan Suguru.

"O-oh, Satoru kau sudah siuman? Syukurlah,"

"Ha? Harusnya aku yang tanya, bodoh. Tuan Satoru yang baru bangun ini baru saja mau menjengukmu," ujarnya sambil menunjukkan belasan missed call serta pesan singkat dari Shoko yang memberitahunya kalau Suguru sudah kembali dalam keadaan babak belur.

Senyum terpaksa ia sunggingkan, ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari sana, "Haha, ya sudah. Kalau begitu, aku balik dulu,"

Satoru mencium gelagat mencurigakan dari Suguru. Pandangan matanya terasa kosong. Aneh. Segera saja ia menarik tangan Suguru tepat sebelum pria itu pergi ke dalam kamarnya dan memojokkannya di balik pintu, "Apa yang terjadi?"

Ah. Suguru lupa kalau sahabatnya punya insting yang cukup tajam. Seharusnya ia tidak perlu menjenguknya dengan keadaan kalut seperti ini. Ia berdecak pelan, "Nggak. Aku capek, itu saja,"

"Oi, memangnya aku bodoh? Wajahmu itu gabisa bohong. Tanpa mata ke enam pun aku tahu kalau kau—"

"Aku membunuh orang. Puas?"

Kalimat penekanan ia lontarkan. Manik hitam itu menatap dingin ke arah Satoru. Membunuh? Satoru tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Ini salahku," perang batin berkecambuk dalam diri Satoru. Belum sempat ia membuka mulutnya, Suguru menepis tangan Satoru yang mencengramnya erat.

"Jangan dekat-dekat denganku lagi," Pria bersurai hitam meraih kenop pintu namun Satoru menghalanginya, "Minggir," ketus Suguru.

"Suguru, kau itu—!"

Satoru menarik kasar kerah kemeja Suguru dan melumat kedua belah bibir pria itu dengannya. Sebuah ciuman singkat dan tamparan di pipi dari Satoru berhasil menghentikan Suguru pergi dari hadapannya.

"Ini salahku. Kalau saja aku nggak pergi dari situ, kau nggak perlu mengotori tanganmu. Kalau saja aku lebih kuat, aku—,"

"Cukup," Suguru mendorong tubuh Satoru menjauh darinya, "Ini bukan salahmu. Aku hanya perlu waktu untuk membiasakan ini dan... jangan cari aku,"

Satoru kembali ia meraih pergelangan tangan pria bersurai hitam dan menahannya di pintu, tepat disamping wajah Suguru. Firasat Satoru mengatakan kalau ia membiarkannya pergi, Suguru yang ia kenal akan menghilang. Apapun yang terjadi ia harus menghentikannya disini.

"Walaupun kau jadi pembunuh dan semua orang memusuhimu, aku akan jadi satu-satunya sekutumu! 'Kita' ini yang terkuat, 'kan?! Nggak akan kubiarkan kalimat itu berubah menjadi 'aku'!"

Suguru tersentak. Kalimat pria bersurai platina memberikan damage yang cukup besar untuknya.

"Tolong... jangan usir aku. Aku... suka Suguru," Satoru membenamkan wajahnya ke bahu pria bersurai hitam yang menahan bulir air jatuh dari sudut matanya. "Jangan pergi," imbuhnya lirih.

Pria bermanik hitam memeluknya dengan sebelah tangannya yang masih bebas, mengecup kening pria bersurai platina, "Seorang kepala klan Gojo tidak boleh memohon seperti ini, bodoh," Suguru melumat kembali bibir ranum sang kepala klan.

Jika Tuhan itu ada, pria bersurai hitam itu memohon untuk malam ini saja, Ia berkenan untuk menutup mata akan perbuatannya. Malam ini saja, sosok sang pendosa bisa merengkuh, menodai, menjamah tubuh sang malaikat yang sudah mencuri batin dan raganya.

Terserah dunia mau berkata apa, tapi kini pria bermanik biru yang merubah semua keseimbangan di dunia jujutsu, adalah miliknya. Hanya miliknya. Setidaknya malam ini.
.
.
.
.
.
To be continue
.
.
.
.
.
Tapi bohong, hari ini special update 2 chapter🎉 Tadinya mau dipolling buat R18nya, tapi... ceritanya kelar duluan. So, warning bagi yang puasa dan pembaca minor, karena chapter selanjutnya penuh adegan 'panas' jadi proceed with caution😘👌🏼
Chapter R18nya dipublish abis buka puasa ya, daripada batal berjamaah 🚪🏃🏻‍♀️💨

[SuguSato] Strawberry And CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang