3. Hadir

6 2 0
                                    

Hari ini menyesal, kemudian bertaubat, tetapi besok kembali mengulangi kesalahan. Tidak apa. Teruslah bertaubat sampai engkau sadar bahwa kematian tidak mengenal waktu dan tempat.

• Ramadhan Al-Madhi

°°°

Gia menengadah, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Bibirnya tertarik membentuk senyuman manis ketika mengingat bahwa umat muslim akan segera melaksanakan ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini.

Lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid pesantren Al-Hikmah membuat Gia semakin melebarkan senyumnya. Untuk pertama kalinya, jantung Gia bertingkah aneh saat mendengar suara merdu dari teman abangnya itu. Sebelumnya, Gia memang tidak pernah mendengar Adam membaca Al-Qur'an. Namun, karena sekarang rumahnya berada di dekat pesantren, Gia akan dengan mudah menikmati suara pria itu setiap hari. Rasyid bilang, Adam ditunjuk oleh Ustadz Hamdan sebagai pelantun ayat suci Al-Qur'an setiap mendekati waktu Maghrib.

Gia tidak sadar bahwa inilah awal mula sebuah perasaan tabu itu muncul tanpa permisi. Mulai saat ini, debaran itu selalu hadir ketika berhadapan dengan sosok idaman yang sejenak membuat Gia lupa akan derajat iman yang ia miliki.

"Gi, ayo masuk!" Kintan menginterupsi Gia yang tengah asik menikmati suara halus itu. Mungkin karena sebentar lagi azan Magrib berkumandang, jadi Kintan menyuruh putrinya untuk segera masuk rumah.

"Bunda, nanti Gia mau ikut tadarusan di pesantren, ya?" Gadis itu mengikuti Kintan masuk ke dalam rumah.

"Tadarusnya gak bisa di rumah aja?" tanya Kintan.

"Gia, kan, ngajinya belum lancar. Kalo di sana, Gia sekalian belajar sama Mbak Zalwa," bujuk Gia.

"Tanya abangmu dulu, ya?"

Gia mengangguk-angguk setuju. Ia akan menanyakannya begitu Rasyid sudah pulang dari masjid. Langkah Gia yang semula hendak menuju kamarnya untuk bersiap-siap salat Magrib, kini berbalik ketika mengingat sesuatu. "Bunda, Ayah kapan pulang?"

"Katanya sih, minggu depan," jawab Kintan.

Adrian—ayah Gia—memang kerap kali bekerja di luar kota. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya kesehatan Gia membuat pria yang sering disapa Adri itu terlampau giat dalam mencari nafkah.

Gia melanjutkan langkahnya. Ia segera mengambil air wudu dan solawatan setelahnya sembari menunggu azan Magrib berkumandang.

•••

Dwarr!!

Prepett!!

Suara yang saling sahut-menyahut itu menciptakan warna yang begitu indah di langit kelam tanpa bintang. Para anak-anak menjerit riang sambil bertepuk tangan menyambutnya. Ada juga yang hanya menyalakan kembang api sparklers dengan percikan cahaya yang terlihat sangat indah dilihat dari dekat.

Pandangan Gia tidak lepas dari seorang anak kecil yang tengah memegang kembang api di tangannya. "Abang, besok beli kembang api, ya? Ya, Bang, ya?" bujuknya sambil menarik-narik lengan Rasyid.

"Besok pulang kuliah, Abang mau ke bengkel."

"Sore aja pas Bang Acid udah pulang," ujar Gia tak mau menyerah.

"Nanti aja Abang yang beliin."

"Gia juga pengen ikut belinya, Bang!"

Tak punya pilihan lain, Rasyid hanya bisa menyetujui permintaan sang adik yang tentu saja langsung memekik senang.

Saat ini, Gia, Rasyid dan Kintan sedang berada di perjalanan menuju masjid Al-Hikmah untuk mengikuti salat tarawih di hari pertama.

"Bang Acid, nanti Gia pulangnya bareng Bang Acid, ya?"

"Bang Acid mau tadarusan dulu, jadi pulangnya pasti malem banget," kata Rasyid.

"Gia juga mau tadarusan dulu."

Rasyid mendapat sebuah anggukan dari Kintan ketika ia menunjukkan tatapan meminta persetujuan. Akhirnya, mereka benar-benar pulang bersama sekitar pukul setengah sepuluh malam.

"Tadi Bang Acid salat witir, gak?" tanya Gia memecah keheningan di antara keduanya. Meski ini sudah sangat malam, tetapi masih ramai orang-orang yang berlalu-lalang.

"Salat. Emangnya Gia nggak?"

"Niatnya, nanti Gia mau salat tahajud."

"Emangnya kalo mau tahajud gak boleh witir?"

"Kata Bang Adam, kalo kita udah niat mau tahajud, witirnya nanti aja pas udah selesai tahajud." Rasyid mengangguk mengerti.

"Kalo udah witir tapi mau tahajud, gimana?"

"Boleh-boleh aja, kata Bang Adam. Tapi kalo udah niat mau tahajud, witirnya harus nanti," kata Gia.

Keadaan kembali hening sebelum Gia berseru lantang. "Bang Acid!"

Rasyid segera menghentikan langkahnya terkejut. "Kenapa? Ada apa?"

Gia nyengir tanpa rasa bersalah. "Gia mau jajan telur gulung. Bang Acid bawa uang, gak?" tanyanya.

Rasyid geleng-geleng kepala sambil berjalan menuju gerobak tukang telur gulung. Setiap bulan ramadan memang selalu banyak pedagang di mana-mana, termasuk di jalan antara pesantren dan rumah Gia.

Sebenarnya, Gia sudah merasa kegerahan sejak masih di masjid tadi. Bahkan, kerudung bagian dagunya sudah basah oleh keringat.

"Gia keringetan banget. Gerah, ya?" Rasyid yang menyadari itu langsung mengusap kening Gia dengan pergelangan tangannya yang terlapisi baju. Gia hanya mengangguk samar.

"Jangan lupa niat puasanya." Rasyid mengingatkan.

"Udah, dong! Dari isya tadi malahan," ujar Gia. Rasyid menyunggingkan senyum kecil melihat antusias adiknya.

Gia mengambil napas panjang sambil memejamkan mata, menikmati semilir angin malam dan suara sahut-sahutan dari masjid sekitar yang tengah mengumandangkan tilawah Al-Qur'an. Betapa tenang hatinya mendengarkan Kalam Allah yang dulu tidak pernah ia hiraukan.

Kenangan ramadan tahun-tahun sebelumnya membuat Gia merasakan kembali pahitnya penyesalan. Dulu, yang ia lakukan setiap malam bulan ramadan adalah nongkrong bersama teman-temannya. Mendengarkan musik yang begitu memekakkan telinga, berjoget ria tanpa memperhatikan batasan antara lawan jenis, membicarakan kekurangan orang lain yang tentu saja hanya akan menimbulkan dosa dan masih banyak perilaku-perilaku memalukan yang pernah Gia lakukan di masa lalunya. Bahkan, tidak pernah sekalipun ia mendirikan salat tarawih setiap datangnya bulan suci.

"Gia kenapa, Dek? Ada yang sakit?" tanya Rasyid khawatir ketika melihat Gia menutup permukaan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Gia menggeleng di tengah isakannya.

"Gi, kamu kenapa?" Rasyid merangkul bahu Gia yang bergetar.

"G-gia nyesel ...," ucap gadis itu. Tanpa bertanya lagi, Rasyid segera merengkuh tubuh Gia ke dalam pelukannya, berusaha menenangkan adiknya yang menangis tiba-tiba. Beberapa orang melirik ke arah mereka yang masih menunggu pesanan telur gulung itu. Namun, Rasyid tidak peduli apa pun pendapat orang lain tentang mereka berdua.

°°°

Jadi, kalo mau salat witir di bulan ramadhan itu lebih baik setelah salat tahajud aja, yaps?🙈

See U Next Part — Uril

Ramadhan Al-MadhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang