Cinta sepihak? Jangan berani menantang Adam dalam hal itu, karena dia sudah menjadi pakarnya selama lima tahun belakangan.
• Ramadhan Al-Madhi •
°°°
Suara bising dari kendaraan tak lantas membuat konsentrasi Adam terpecahkan. Pikirannya tengah berada pada satu titik saat ini. Setelah berbicara dengan mamanya dan salat duhur berjamaah di masjid, Adam bergegas menemui Rasyid yang masih berada di bengkel.
"Jadi gimana?" Rasyid datang dengan seragam bengkel yang hanya menutupi setengah badannya. Dengan alasan gerah, pria itu selalu mengikat seragam bagian tangannya di pinggang, menyisakan kaos lengan pendek yang membuatnya terlihat begitu menawan.
"Mama masih membenci Zalwa dan Zalwa masih terikat dengan masa lalunya." Adam mengatakan itu tanpa menoleh ke arah Rasyid. Tatapannya hanya berpusat pada satu sudut.
"Yakinkan dulu Zalwa, baru setelah itu yakinkan Mamamu," usul Rasyid.
"Bagaimana kalau Mama tetap tidak merestui di saat aku sudah meluluhkan hati Zalwa?"
"Akan lebih rumit jika Mamamu sudah memberi restu, tetapi Zalwa masih tetap tidak mencintaimu."
Adam bungkam. Benar juga, pikirnya.
"Zalwa dulu, Dam. Baru Mamamu," ulang Rasyid. Pria itu menepuk bahu Adam, berusaha menyalurkan ketenangan. Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka hingga Rasyid ingat bahwa tadi Gia ikut bersama Adam dan Zalwa.
"Gia di mana, Dam?"
Merasa bertanggungjawab atas adik dari Rasyid itu, Adam menoleh dan menjelaskan bahwa Gia baik-baik saja. Adam juga sudah menawarkan untuk membawa Gia pulang ke rumahnya, tetapi Gia bersikeras ingin menemani Zalwa.
Di tempat lain, Gia tengah menelisik wajah Zalwa yang terlihat sangat kelelahan. Setelah menyalurkan emosinya dengan menangis, lalu mendirikan salat duhur untuk mengadu kepada Sang Khaliq, kini Zalwa tertidur pulas di atas ranjang miliknya.
"Gia pulang dulu, Mbak." Gia tetap berpamitan meski ia tahu Zalwa tidak bisa mendengarnya.
Ketika baru saja membuka pintu kamar Zalwa, Ummi Aliya sudah menyambutnya di sana. Jarang sekali Gia bertemu Ummi Aliya dan gadis itu tampak segan kepada beliau.
"Assalamualaikum, Ummi ...." Gia menyalami tangan Aliya. Guratan khawatir terlihat jelas di wajah wanita setengah baya itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh. Eum ... nak Gia, bagaimana keadaan Zalwa?"
Gia bingung sendiri. Kenapa Aliya tidak langsung saja mengunjungi putrinya? Kenapa beliau baru bertanya sekarang, padahal ketika Gia dan Zalwa baru pulang dari makam saja ia terlihat tak mengkhawatirkan apapun, berbeda dengan Ustadz Hamdan yang bertanya ini-itu ketika melihat mata putrinya membengkak. Sayangnya, tadi Ustad Hamdan sedang dalam perjalanan ke luar kota untuk mengisi kajian. Jadilah beliau menitipkan Zalwa kepada Gia.
"Mbak Zalwa lagi tidur, Ummi. Udah salat duhur juga, kok."
"Alhamdulillah ...." ucap Aliya terdengar lega.
"Makasih udah jagain Zalwa, ya, nak Gia."
"Bukan apa-apa, Ummi. Mbak Zalwa orangnya ramah lagi baik. Tidak ada alasan untuk Gia mengabaikan wanita sehebat Mbak Zalwa."
Entah kenapa, air mata Aliya luruh begitu saja, membuat Gia keheranan bukan main.
"Ummi, ucapan Gia nyakitin Ummi, ya?" panik Gia.
"Nggak, nak, Ummi gak papa. Kamu mau pulang, 'kan? Pulang aja, nak, Bunda Kintan pasti khawatir kepadamu."
Ketika keluarga Gia baru saja pindah rumah ke lingkungan sekitar pesantren ini, Kintan dan Adrian memang sempat mengunjungi kediaman Ustad Hamdan dan Ummi Aliya untuk menitipkan diri.
Setelah berpamitan, Gia segera pulang ke rumahnya di tengah teriknya matahari siang ini. Suasana pesantren sangat sepi karena para santri dan santriwati tengah mengikuti pengarahan sebelum pihak pesantren melepas mereka ke kampung halaman masing-masing. Ada banyak sekali nasehat dari Ustadz Farhan—Ustadz senior di pesantren Al-Hikmah dan bisa disebut sebagai asisten Ustadz Hamdan juga.
Jadi, mulai besok pesantren Al-Hikmah akan terasa sangat sepi karena hampir 85% dari sekitar 1.000 santri dan santriwati pulang ke kampung halaman masing-masing. Sisanya berniat untuk mengikuti pesantren ramadhan yang kegiatannya tidak sepadat bulan-bulan biasanya. Pelajar di pesantren ini mayoritas tingkatan SMA dan sisanya adalah santri seusia Gia yang berniat menimba ilmu agama terlebih dahulu selama setahun sebelum melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
Gia menghentikan langkah ketika merasa ada seseorang di belakangnya. Namun, setelah memeriksanya, tidak ada siapa-siapa di sana. Dengan ragu, Gia kembali berjalan. Instingnya tetap mengatakan bahwa ada seseorang yang berjalan di belakangnya. Namun, lagi-lagi hanya angin lalu yang ia temukan setelah menengok ke belakang.
"Gia!" Panggilan Kintan membuat Gia menoleh ke arah berlawanan. Gadis itu segera menghampiri wajah sang bunda dengan raut yang terlihat masih penasaran.
"Kenapa?" tanya Kintan.
"Tadi kayaknya ada yang ngikutin Gia. Tapi pas Gia nengok orangnya udah gak ada," tutur Gia.
"Loh, tadi kan memang ada orang di belakang kamu."
"Beneran, Bunda?"
Kintan mengangguk. "Iya, cuma dia keburu belok ke gang tepat sebelum kamu nengok ke arah dia."
"Bunda liat wajahnya, gak?"
"Nggak, sih, soalnya dia pake topi. Udah, gak apa-apa. Mungkin dia emang kebetulan lagi jalan di sekitar sini. Jangan mikir aneh-aneh, sayang. Ayo, masuk! Di dalem udah ada Ayah, loh!"
Mendengar kata ayah, Gia segera berlari ke dalam rumahnya tanpa mengucapkan salam, meninggalkan Kintan yang geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.
"Ayaaah ...!" teriak Gia, mencari keberadaan sang ayah. Ada sesuatu yang ingin gadis itu bicarakan karena memang hanya Adrian yang bisa memenuhi keinginannya yang satu ini.
°°°
See U Next Part — Uril ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Al-Madhi
Teen FictionBerusaha melakukan amalan-amalan utama di bulan Ramadhan-yang sebelumnya belum pernah ia lakukan-membuat Gia merasakan betapa nikmatnya beribadah dalam keta'atan. Karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, Rasyid dan Kintan merasa khawatir j...