18. Karena Sayang

5 2 0
                                    

Terkadang, kita hanya bisa mengikuti kata hati meski tahu bahwa yang lebih baik adalah kata otak.

• Ramadhan Al-Madhi •

°°°

Sudah seminggu sejak Gia tinggal di pondok Al-Hikmah. Tidak ada sedikit pun rasa sesal karena memutuskan untuk menimba ilmu dalam naungan pesantren ini. Mulai dari bangun pukul tiga dini hari untuk mendirikan salat tahajud yang dilanjut dengan setor hafalan quran dan hadist, makan sahur bersama, lalu mengikuti kuliah subuh setelah salat subuh berjamaah. Paginya, para santri akan melakukan olahraga ringan atau bermain di sekitar komplek pesantren. Setelah duhur, mereka dianjurkan untuk tidur siang dengan cukup sebelum kembali melakukan aktifitas setelah asar. Jika sudah masuk waktunya berbuka, mereka akan menikmati takjil secukupnya dan salat magrib berjamaah terlebih dahulu sebelum berbuka dengan makanan berat. Barulah setelah itu tarawih, tadarus, kemudian ditutup dengan tidur.

Semua itu Gia lakukan dengan senang hati, menikmati suatu kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Tidak ada alasan yang bisa membuat Gia tidak betah tinggal di antara teman-teman salehah dan lingkungan yang baik. Namun, tidak ada yang sempurna. Gadis itu kini tengah meringkuk di atas kasur, menahan setiap rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhnya. Sendi dan tulangnya terasa linu, kepalanya berdenyut dan tetesan keringat tak henti-hentinya menetes sejak tadi.

"Gi, ayo bangun!" Suara Hani terdengar. Ini sudah masuk waktu ashar. Gadis itu pasti sudah siap dengan mukenanya. Sekuat tenaga, Gia bangun dari posisi tidurnya.

"Han, aku gak ikut salat berjamaah di mushola dulu, ya? Hari ini mau salat di asrama dulu."

Hani segera menghampiri Gia dengan wajah khawatir. Bukan hanya dia. Farah, Zahrani, Nawa dan dua santriwati lainnya ikut menghampiri kasur Gia. Siapa pun bisa langsung menebak bahwa gadis itu tengah menahan sakit.

"Kamu sakit, ya, Gi?" Hani memegang kedua lengan Gia.

"Kak Gia beneran sakit." Zahrani meneliti setiap inci wajah Gia. "Zahra panggil Mbak Zalwa dulu," imbuhnya yang langsung beranjak pergi sebelum langkahnya ditahan oleh ucapan Gia. "Gak usah, Zah. Jangan panggil siapa-siapa." Gia menyentuh lengannya yang terasa sangat linu. Kerutan samar di dahinya terlihat sangat kesakitan.

Para santriwati saling pandang. Mereka khawatir akan keadaan Gia yang terlalu kentara. Apa yang harus mereka lakukan?

"Yaudah, kalian ke mushola dulu aja! Yang lain pasti nungguin buat salat berjamaah. Gia biar dibantu salatnya sama aku," putih Hani. Tanpa memprotes apapun lagi, mereka benar-benar meninggalkan asrama, menyisakan Gia dan Hani berdua saja.

"Gia mau salat sekarang?" Gia mengangguk samar. Hani membantu Gia turun dari kasur dan menuntunnya ke kamar kecil yang ada di dalam asrama. Gia meringis kecil pada setiap pergerakan yang dia ambil. Rasanya seperti semua tulang dan sendinya retak dan hancur.

"Gia sakit apa? Padahal badannya gak panas-panas banget."

Bibir pucat gadis itu tertarik membentuk senyuman kecil. Dia tak berniat menjawab pertanyaan Hani.

"Gia gak mau buka puasa sekarang aja? Kayaknya lemes banget gitu."

"Gak mau," jawab Gia.

"Tapi Gia keliatan sakit banget."

"Gia masih kuat puasa, kok."

Dengan masih mengenakan mukena, Gia membaringkan tubuhnya di atas sajadah dan menjadikan paha Hani sebagai bantal. "Gia numpang tidur sebentar," ujar gadis itu lirih. Mata sayunya tertutup, berusaha terlelap untuk menumbuhkan sedikit energi dalam tubuhnya.

•••

Gia merasakan tubuhnya dipangku oleh seseorang. Teman-temannya tidak menghiraukan permintaan Gia untuk tidak memanggil siapa pun. Nyatanya, mereka memberitahu Zalwa yang langsung menghubungi Adam.

"Gia cuma tidur, Bang," lirih gadis itu dengan mata yang masih tertutup. Wajah pucat pasinya membuat Rasyid panik bukan main. Pria yang masih berlari dengan tubuh sang adik di kedua tangannya itu tak bergeming. Dia segera membawa Gia masuk ke mobil milik pesantren karena mobil ayahnya dibawa ke luar kota.

Adam sudah siap berada di belakang kemudi dan Zalwa menyusul duduk di jok belakang bersama Gia sementara Rasyid duduk di samping Adam. Meskipun Gia audah sadar dari tidurnya, gadis itu masih enggan membuka mata. Rasa sakitnya masih mendominasi.

Sepanjang perjalanan, Rasyid tak henti-hentinya menatap ke belakang, dimana adiknya berada. Peluh yang menghiasi keningnya tak ia hiraukan.

"Cepat sedikit, Dam!" pintanya tak sabaran.

Adam menurut, menaikkan kecepatan mobilnya. Sesampainya di depan Rumah Sakit tempat biasa Gia konsultasi, Rasyid segera memangku kembali adiknya menuju ruangan Dokter Sinta.

"Dokter, Gia gak mau diinfus," kata Gia yang kini sudah membuka matanya. Rasyid dan yang lainnya sedang menunggu di luar ruangan pemeriksaan.

"Tapi Gia butuh infusan, sayang. Diinfus, ya?" bujuk Dokter Sinta. Gia menggeleng. "Gia gak mau batal puasa."

Dokter Sinta membujuk untuk kedua kalinya, tetapi Gia tetap menolak.

"Yaudah, tapi Gia harus banyakin makan sayur dan buah. Jangan makan masakan yang digoreng apalagi setengah mateng. Lebih baik dikukus aja, ya?" Nasehat Dokter Sinta setelah pemeriksaan selesai.

"Gia juga suka makan sayur dan gak makan masakan yang digoreng," protes Gia.

"Itu artinya masih tetep kurang, ya. Jangan banyakin aktifitas juga. Kalo Gia mau tetep ikut puasa, inget kata-kata Dokter, ya? Jangan lupa berdoa juga."

Setelah Gia mengucapkan terimakasih, Dokter Rahmi ke luar dari ruangan, digantikan dengan Zalwa yang kini berjalan ke atah Gia. Rasyid pastilah sedang berkonsultasi dengan Dokter Sinta.

"Kenapa nolak diinfus?"

Gia yang sedang duduk di atas bad dan Zalwa yang berada di samping menoleh begitu Rasyid masuk ruangan. Tak lama, Adam datang menyusul. Mencium kemarahan dari nada bicara abangnya, Gia mulai takut.

"Gia gak mau batal puasa," katanya memberikan alasan yang sama.

"Udah berapa kali Abang bilang kalo kesehatan kamu itu yang utama!"

"Tapi Gia gak mau bolong puasa." Suaranya mulai serak.

"Lihat wajah kamu, Gi! Pucat begitu masih bilang mau puasa?!"

Gia menunduk, tak ingin menyaksikan kemarahan di wajah Rasyid. Air matanya menetes begitu saja, membuat Zalwa mengelusi lengannya lembut. Adam membawa Rasyid pergi dari ruangan untuk membuat pria itu sedikit lebih tenang.

•••

See U Next Part — Uril ❤

Ramadhan Al-MadhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang