Manusia memang harus ditampar dulu oleh kenyataan sebelum sadar bahwa semua hanya ilusi semata.
• Ramadhan Al-Madhi •
°°°
Gia menyeka peluh yang menetes dari dahinya. Gejala yang sering ia alami setiap malam adalah keringat berlebihan dan tulang-tulangnya yang terasa linu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tetapi matanya masih sulit untuk terpejam. Biasanya, para santri harus sudah terlelap pada pukul setengah sepuluh malam. Namun, karena ini pesantren ramadhan, pihak pesantren tidak membatasi. Yang penting tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kata Ustadz Hamdan kala itu.
Suara tadarus Qur'an dari masjid santriwan terdengar masih memenuhi penjuru pesantren yang luas ini. Para santriwan selalu bergantian tadarus lewat speaker hampir sampai tengah malam. Gia bangun dari posisi tidurnya.
"Belum mau tidur, Gi?" tanya Hani yang saat itu tengah menambah hafalan suratnya bersama dua santriwati lainnya.
"Gak ngantuk," jawab Gia sambil menunjukkan senyumnya.
Ting!
Gia meraih ponsel dan memeriksa pesan yang baru saja tiba. Satu lagi kebijakan dari pesantren di bulan suci ini bagi para santri yang memutuskan untuk ikut pesantren ramadhan. Boleh menggunakan ponsel yang biasanya dititipkan kepada para pengurus pondok dan hanya bisa diambil pada hari Jum'at pukul 13.00-15.00 saja. Tujuan utamanya adalah untuk berkomunikasi dengan keluarga.
[ Bang Acid ]
<Udah tidur, Gi?>
Gia hanya membacanya lewat papan notifikasi tanpa berniat membalas.
<Belum, ya?>
Gia hanya menatap layar ponselnya tanpa minat. Dia masih kesal.
<Ke gazebo deket asrama santriwati sebentar, mau gak?>
Menghirup udara malam sepertinya bukan ide buruk, pikir Gia. Gadis itu segera mengenakan jilbab instan dan berpamitan kepada teman-temannya.
"Eh, Gia!" Farah menginterupsi langkah Gia.
"Iya?"
"I-itu kaki kamu, hehe,"
Gia melirik kakinya yang polos, tanpa sehelai kain yang menutupi. Gadis itu menepuk jidatnya. "Astaghfirullah, Gia lupa!" ujarnya yang segera meraih kaus kaki di atas lemari kecil. Setelah mengenal pesantren ini, ada banyak sekali ilmu yang baru Gia ketahui hingga membuat ia merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Bahkan ia pun batu tahu bahwa seluruh bagian kaki adalah aurat. Karena itulah para santriwati di sini selalu memakai kaus kaki ke mana pun mereka pergi.
Suara bising-bising langsung menerpa pendengarnya kala Gia menapakkan kaki di luar asrama. Beberapa santriwati terlihat tengah berlatih dengan teman-temannya. Ada yang sedang latihan tampil public speaking, adu argumen dan ada juga yang story telling. Bibir Gia tertarik membentuk senyuman. Beruntung sekali para santri di sini, pikirnya. Sudah diajarkan ilmu agama, ilmu akademik, ilmu bahasa, diajarkan juga ilmu berbicara dan melatih kepercayaan diri.
Seorang pria terlihat tengah duduk di salah satu gazebo yang sangat dekat dengan asrama santriwati. Gia menghampirinya tanpa menyapa. Gadis itu hanya duduk dengan pandangan sibuk memperhatikan sekumpulan santriwan yang tengah menabuh rebana dan antek-anteknya. Dengan lantang mereka bershalawat bersama dengan diiringi tabuhan alat nasyid.
"Masih marah, ya?" tanya Rasyid. Gia diam.
"Maafin elah!"
Gia melirik Rasyid dengan picingan mata tajamnya. "Minta maaf kok kayak gitu!" cibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Al-Madhi
Teen FictionBerusaha melakukan amalan-amalan utama di bulan Ramadhan-yang sebelumnya belum pernah ia lakukan-membuat Gia merasakan betapa nikmatnya beribadah dalam keta'atan. Karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, Rasyid dan Kintan merasa khawatir j...