6. Tak Biasanya

4 1 0
                                    

Jika kalian melihat perbedaan sikap dari seseorang, maka jangan langsung menghakimi. Tanya terlebih dahulu, apakah ada kesulitan yang tengah ia hadapi?

• Ramadhan Al-Madhi

°°°

"Siapa, Gi?" Adam menoleh kepada Gia lewat bahunya karena gadis itu sudah berdiri di sana.

"M-mantan pacar Gia," ucapnya sangat pelan.

"Gi, gue mau ngomong sama lo, boleh?" Pria bernama Azran itu berujar, membuat Gia menggelengkan kepalanya.

"Kenapa gak mau?" tanya Adam. Gia mendongkak, beradu pandang dengan mata yang berkaca-kaca. "Gia gak mau. Gia gak mau ngomong sama Azran!" tegasnya meminta pengertian kepada Adam.

"Bentaran aja, Gi!" Azran memaksa. Saat tangannya hendak meraih lengan Gia, Adam lebih dulu mencekalnya. "Gia bilang gak mau," tuturnya sopan.

Azran sempat menatap Adam sekilas, sebelum kembali menunjukkan ekspresi memohon kepada Gia. "Gue mohon, sebentar aja, ya?" sorot matanya melunak, tetapi Gia tetap menggelengkan kepalanya.

"Bang Adam, Gia mau pulang ...," rengeknya. Melihat sorot ketakutan di mata Gia, Adam segera membawanya pergi. "Permisi," katanya berpamitan kepada Azran. Pria malang itu hanya bisa menghela napas, menyaksikan punggung Gia yang kian menjauh.

Sementara itu, Adam terheran-heran melihat sikap Gia yang biasanya ramah kepada semua orang, tetapi kenapa sikapnya berkebalikan kepada Azran? Gadis itu hanya menunduk sepanjang perjalanan. Saat hendak masuk melewati pagar rumahnya, Gia mengucapkan terimakasih kepada Adam karena telah menemaninya bermain di taman.

"Ada apa sama Azran, Gi? Dia jahatin kamu?" tanya Adam. Gia mengangkat pandangannya. "Azran baik, tapi Gia takut." Tangannya memilin ujung jilbab yang ia kenakan.

Adam terkekeh kecil. "Ada-ada aja, kamu. Kalo dia dateng lagi pas gak ada Bang Acid, kamu kasih tau Bang Adam aja, ya?"

Gia mengangguk senang. "Yaudah, masuk, gih!"

Setelah melambaikan tangan, Gia memasuki pintu rumahnya. Kilasan perlakuan Azran beberapa bulan lalu kembali terputar di memorinya.

"Apa? Lo mau putus?"

Tidak seperti biasanya, nada bicara Azran terdengar sangat dingin. Gia sempat merinding mendengarnya.

"Maafin Gia," lirihnya.

"Kenapa?"

Gia mengangkat kepala, merasa ada yang aneh dengan Azran. Selama dia menjalin hubungan dengan pria itu, seberat apa pun kesalahan Gia, Azran tidak pernah se-menyeramkan ini. Sorot matanya menyiratkan amarah yang mendalam. Tidak mungkin hanya karena Gia meminta putus hubungan, bukan?

"Azran kenapa?" Gia memberanikan diri untuk bertanya.

"Lo yang kenapa?!"

Gia tersentak. Setelah sekian lama mengenal Azran, baru kali ini Gia dibentak oleh pria itu. Sekalipun kepada orang lain, Azran tidak pernah membentak.

"Gia mau memulai hidup yang lebih baik," ujar Gia.

Azran tertawa hambar. "Hidup yang lebih baik? Jadi, gue kurang baik buat lo?"

"Bukan gitu. Agama Gia mengajarkan–"

"Oh, jadi karena gue gak punya agama kayak lo? Karena gue gak punya Tuhan, iya?!"

Lagi. Ini aneh. Azran tidak pernah mengungkit keyakinan antara mereka yang berbeda. Azran atheis. Selama ini, hal itu tidak pernah menjadi perdebatan antara Gia dan Azran.

"Azran kenapa, sih? Kok marah-marah kayak gini? Gia paham kalo Azran gak terima Gia putusin sepihak. Tapi, harus sampe se-marah ini, ya? Harus sampe ngebahas Tuhan?" Kening Gia mengkerut dalam.

"Gue benci liat orang-orang memuja Tuhan yang wujudnya aja gak ada! Gue benci mereka mempercayai Tuhan yang tidak melakukan apa pun, bahkan di saat-saat paling terpuruk dalam hidup!"

Gia tahu, Azran mengatakan itu atas dasar emosi. Kilatan di matanya begitu jelas. Azran bukan tipe orang yang akan terang-terangan menghina kepercayaan orang lain. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Gia mendekat, menyentuh lengan pria itu. "Azran ada mas–"

"Pergi lo!"

Braakkk!!

Azran mendorong Gia hingga menghantam vas bunga yang melukai tangan gadis itu.

Diperlakukan begitu kasar oleh orang yang tidak mempunyai ikatan darah sedikit pun dengannya membuat Gia ketakutan. Siapa yang berani melakukan itu, bahkan di saat keluarganya tidak pernah sekalipun membentak?

°°°

Kebiasaan baru hari ini sudah Gia kerjakan semua. Mulai dari salat tahajud, salat duha, membaca Al-Qur'an setiap selepas salat, lalu salat sunnah rawatib, salat wajib tepat waktu dan bersalawat hingga berdzikir. Meski masih belum lancar, Gia tetap melakukannya. Bahkan ia membutuhkan waktu setengah jam dalam menyelesaikan tiga puluh tiga kali kalimat 'Subhanallahi Walhamdulillahi Wa Laa Ilaaha Illallohi Wallohu Akbar' karena lidahnya selalu saja berbelit saking jarangnya mengatakan kalimat itu. Sementara untuk menyelesaikan dua lembar bacaan Al-Qur'an, Gia membutuhkan waktu hampir satu jam. Gadis itu sibuk bertanya kepada Zalwa tentang hukum tajwid yang belum ia pahami.

"Bang Acid lama, deh," dia bergumam sendirian di tengah ramainya orang-orang. Sore ini ia dan Rasyid akan pergi membeli kembang api yang kemarin Rasyid janjikan. Tetapi pria itu belum pulang dari bengkel tempatnya bekerja.

Gia menyalakan ponselnya, membuka aplikasi google play dan mendengarkan murotal lewat earphone-nya. Bayang-bayang seseorang tiba-tiba hinggap di kepalanya, membuat gadis itu tersenyum penuh makna. Namun, kemudian senyumnya luntur, berganti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya menghela napas.

'Bagaimana Gia bisa mendambakan seseorang yang dengan melihatnya pun, iman Gia langsung mundur?'

Tak lama, seseorang yang tengah diperbincangkan oleh pikirannya itu datang menghampiri dengan dua cup besar berisi es pisang ijo. Tampaknya, Adam juga tengah jalan-jalan sembari membeli makanan untuk buka nanti.

"Lagi ngapain di sini sendirian, Gi?"

Gia merenung, kenapa Gia harus terpesona kepada pria ini? Kenapa baru sekarang? Padahal mereka sudah dekat sedari dulu. Apakah ini salah satu bagian dari ujian-Nya?

°°°

Kalo ada sikap seseorang yang berubah 100%, kalian bakal takut gak, sih?

Oh iya, jangan dulu dijauhi, ya! Siapa tau dia lagi ada masalah ;v

See U Next Part — Uril ❤

Ramadhan Al-MadhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang