4. Allahummaghfirlanaa

8 2 0
                                    

Meski masih ada bahu untuk bersandar, jangan lupakan sajadah untuk bersujud.

• Ramadhan Al-Madhi •

°°°

Gia bersujud di atas sajadahnya dengan linangan air mata, meminta ampun kepada Sang Maha Mengampuni atas apa-apa yang menjadi kesalahannya di masa lalu. Sunyinya dini hari ini membuat suara isakannya terdengar cukup jelas.

Ini pertama kalinya ia merasakan nikmatnya mengadu kepada Dzat yang Menciptakannya. Pada salam terakhir setelah melakukan salat witir, Gia segera menghapus jejak air matanya. Setengah jam lagi, ia akan melakukan sahur pertama dengan Rasyid dan Kintan. Ia tidak mau memperlihatkan mata sembabnya.

Meski masih terbata, Gia tetap melantunkan kalimat demi kalimat dalam Al-Qur'an yang berada di atas pangkuannya. Zalwa bilang, tidak peduli seberapa fasihnya kita dalam melafalkan Al-Qur'an karena yang Allah lihat adalah seberapa berjuangnya kita untuk bisa membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Kata-kata itu memotivasi Gia untuk lebih giat lagi dalam belajar memperbaiki ilmu tajwidnya.

"Sahuuur sahuur ... sahuur sahuur!" Suara kentongan yang berasal dari luar rumah Gia terdengar sangat nyaring. Bibir mungil Gia tertarik membentuk senyuman dan gadis itu segera beranjak menuju jendela kamarnya untuk menyaksikan anak-anak yang tengah berkeliling membangunkan seantero kampung.

"Dek, udah bangun?" Rasyid mengetuk pintu kamar Gia.

"Udah, Bang," jawab Gia tanpa beranjak untuk mempersilakan Rasyid masuk.

"Nanti langsung ke ruang makan, ya? Udah jam setengah empat." Pria itu mengingatkan.

"Iya, sebentar lagi," ujar Gia sembari merapikan mukena yang ia kenakan. Sebelum ke luar kamar, Gia bercermin dahulu, mengusap-usap kelopak matanya dan mengikat rambutnya menjadi satu.

Kintan dan Rasyid tengah menyiapkan meja makan. Menu makan sahur pertama tahun ini adalah sayur brokoli dan bakso, telur rebus dan beberapa buah-buahan segar. Ada jeruk, pisang dan delima. Tidak banyak menu makanan yang boleh Gia konsumsi. Hal itu membuat Kintan dan Rasyid juga mengikuti pola makan Gia.

"Gia, minum yang banyak, Dek!" ujar Kintan yang mendapat anggukan dari putri bungsunya.

Gia merasa sedikit sedih karena ia menjadi penyebab abang dan bundanya makan sahur sehambar ini. Bukannya Gia kufur nikmat, tetapi abang dan bundanya bisa saja mengonsumsi makanan yang lebih enak seperti ayam goreng dan olahan gurih lainnya. Namun, karena penyakit yang Gia derita, mereka berdua tidak bisa memakan itu. Dulu, Rasyid tidak pernah mengonsumsi sayuran, terlebih brokoli. Pria itu bilang, rasa sayuran terasa aneh di lidahnya. Namun, belakangan ini hampir setiap hari Rasyid mengonsumsi sayur dan buah.

"Kenapa wajahnya lesu? Bukannya semalem masih semangat, ya?" tegur Rasyid.

"Kata siapa lesu? Ini masih semangat, kok!" ujar Gia lantang. Gadis itu mengukir senyum untuk menghilangkan kecemasan Rasyid dan Kintan.

"Bang, nanti Gia ikut kuliah subuh, ya?"

"Hm," jawab Rasyid karena mulutnya masih penuh dengan makanan.

"Nanti, pulangnya kita main ke taman dulu, yuk!" ajak Gia semangat.

"Jam delapan nanti, Bang Acid mau ke kampus." Helaan napas Gia terdengar ketika Rasyid mengatakan itu.

"Yaudah, deh. Gia mau ke taman sendirian aja!" tekadnya.

"Mau ngapain sih, Dek?"

"Mau main aja. Kan enak, tuh, pagi-pagi nyium udara seger di taman. Heum ...." Gadis itu menutup matanya, menyunggingkan senyumnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengambil napas panjang.

"Besok lagi aja, ya?" Ucapan Rasyid membuat Gia menghentikan tingkahnya.

"Loh, kenapa?" Alisnya bertaut samar.

"Biar bareng Bang Acid kesananya."

"Ya ampun, Bang. Jarak dari taman ke rumah, kan, gak jauh-jauh amat. Gia berani kok, jalan sendirian!"

"Gak boleh!" tolak Rasyid cepat.

"Bunda ...," rengek Gia kepada Kintan yang sedari tadi hanya menyaksikan perdebatan putra-putrinya.

•••

Mandi di waktu subuh ternyata sangat menyegarkan. Setelah selesai sahur, Gia bergegas ke kamar mandi dan menyikat gigi sekalian membersihkan badannya. Udara subuh di bulan ramdhan tampak berbeda, menurut Gia. Hampir semua penghuni rumah sudah membuka mata, termasuk anak-anak. Suara riang gembira dari luar sana terdengar cukup jelas. Dari suaranya saja, Gia tahu kalau mereka tengah diselimuti kebahagiaan.

Dulu, Gia selalu mengomel jika mendengar suara berisik dari anak-anak yang membangunkan sahur atau saat hendak berangkat ke masjid. Namun, sekarang berbeda. Lagi, ada getaran aneh di hatinya ketika mengingat masa-masa itu.

"Gia, ayo cepetan!" Rasyid berteriak dari luar kamar Gia.

"Iyaa ...!" Tak kalah kencang, Gia juga ikut berteriak.

Zalwa bilang, ustadz yang akan mengajarkan santri baru—santri yang belajarnya masih dari tahap awal—adalah Adam. Entah karena hal itu atau ada hal lainnya, Gia menjadi lebih bersemangat mengikuti kuliah subuh. Bahkan gadis itu tak hentinya tersenyum sepanjang perjalanan menuju pesantren.

°°°

Beda, ya, kalo mau ketemu ama si ekhem mah😂

Ada yang sama kayak Gia?😂

See U Next Part — Uril

Ramadhan Al-MadhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang